Jakarta – (30/09/21) Dalam rangka memperingati Hak untuk Tahu yang jatuh pada 28 September 2021, PWYP Indonesia menyelenggarakan Forum Multi Pihak (Multi Stakeholders Forum) bertajuk “Keterbukaan Data Beneficial Ownership; Peluang dan Tantangannya”. Dalam forum multi pihak tersebut, hadir Henri Soebagijo sebagai pemapar policy-brief, Agus Cahyono dari Sekretariat EITI Indonesia serta Alamsyah Saragih sebagai pengamat kebijakan publik. Forum tersebut dibuka dengan sambutan dari Ferdian Adi dari Stranas PK – KPK.

Paparan pertama dibuka dengan diseminasi policy brief dari Henri Soebagijo. Dalam paparan kajian tersebut, Henry menyampaikan mekanisme dan tahapan keterbukaan informasi pemilik manfaat (beneficial owner). Policy brief tersebut disusun mengingat pentingnya keterbukaan informasi pemilik manfaat untuk mencegah kejahatan korporasi, mengurangi resiko finansial serta mendorong iklim investasi yang adil dan berkelanjutan. Keterbukaan data pemilik manfaat sendiri sebenarnya telah diatur dalam Perpres No. 13/2018.

Dalam paparannya, Henri memetakan pendekatan relasi pelaksanaan regulasi diantaranya; (i) relasi korporasi dan instansi berwenang; (ii) relasi instansi peminat dan instansi berwenang; (iii) relasi pelapor dan instansi berwenang; (iv) relasi publik dan instansi berwenang. Pola relasi antar pemangku kepentingan tersebut akan menentukan model regulasi dalam konteks pengawasan dan akuntabilitas dari penyelenggaraan prinsip keterbukaan data pemilik manfaat. Pola relasi tersebut sebenarnya diatur dalam Kepmen ESDM 243/2019 dan Permenkeu 156/2017.

Terkait implementasi, terdapat nota kesepahaman antara beberapa instansi yang terdiri dari Kemenkumham, Kementerian ESDM, Kemenperin, Kementerian Tata Ruang, dan Kementerian Keuangan terkait penguatan dan pemanfaatan basis data kepemilikan manfaat. Nota kesepahaman tersebut merinci beberapa hal terkait penguatan, sinkronisasi dan pemanfaatan data beneficial ownership, serta peningkatan kapasitas SDM dan kegiatan lainnya. Namun, terdapat beberapa hal yang belum diatur secara spesifik dalam nota kesepahaman terdapat, meliputi: pejabat yang diberikan otoritas untuk pertukaran/akses; mekanisme pertukaran data; limitasi data Beneficial Ownership yang dipertukarkan; standar dan mekanisme perlindungan data Beneficial Owners.

Dalam paparan tersebut juga dibahas, bagaimana Perpres 13/2018 belum mengatur lebih detail terkait pertukaran informasi/akses antar institusi (free flow of information). Perpres 13/2018 belum memberikan mandate khusus kepada lembaga untuk melakukan sinkronisasi regulasi dan sistem pertukaran informasi/akses antar informasi dan akses antar institusi maupun dengan public. Kementerian Hukum dan HAM, PPATK dan OJK berpeluang menjadi leading sector dalam memperkuat pelaksanaan Perpres 13/2018 termasuk untuk pertukaran data/antar institusi. Namun juga memerlukan dukungan instansi lainnya.

Dalam kajiannya, Henri memberikan rekomendasi terkait akses tanpa hambatan yang perlu menjadi perhatian. Akses tanpa hambatan ini menjadi esensial untuk mendukung pertukaran data antar korporasi, instansi berwenang dan pihak peminta. Untuk itu, diperlukan otoritas yang berperan menjadi leading sector. Di samping itu, perlu adanya regulasi yang seragam serta sistem teknologi informasi yang mendukung free-flow information. Pendekatan proactive disclosure tanpa mengurangi layanan berdasar informasi menjadi semakin krusial sehubungan dengan kemudahan akses terhadap data. Di samping itu, perlindungan beberapa poin terkait data pribadi untuk publikasi perlu juga mempertimbangan aspek public-interest-autonomy-dignity-security.

Kajian tersebut juga menekankan pentingnya sistem yang mengatur proactive disclosure dan mekanisme keterbukaan datanya. Data pemilik manfaat yang memungkinkan untuk ditutup sebagian meliputi NIK, tanggal lahir, dan alamat. Sedangkan untuk data yang perlu dibuka seluruhnya meliputi nama lengkap, tempat lahir, kewarganegaraan, NPWP serta hubungan antar korporasi dan pemilik manfaat.

Forum tersebut dilanjutkan dengan paparan dari Agus Cahyono dari Sekretariat EITI Indonesia. Dalam paparannya, Agus Cahyono menyatakan keterbukaan data Beneficial Ownership merupakan cerminan dari komitmen Indonesia dalam melaksanakan Program Opening Extractive dengan beberapa negara lain diantaranya Argentina, Ghana, Liberia, Mexico, Mongolia, Nigeria, Philippines and Zambia. Dalam implementasinya, Kementerian ESDM telah merancang database Beneficial Ownership yang terintegrasi dengan data pemilik manfaat melalui mekanisme web service/API milik Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM serta basis data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) milik Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Agus Cahyono juga memaparkan capaian kepatuhan perusahaan terhadap keterbukaan data kepemilikan manfaat. Sejauh ini, terdapat 1102 perusahaan SKK Migas, 873 perusahaan mineral dan dan batu bara, 103 perusahaan ketenagalistrikan dan 28 perusahaan energy baru, terbarukan dan konservasi energi yang telah mematuhi dan mengirimkan dokumen kepemilikan manfaat.

Dalam forum multi pihak tersebut, Agus Cahyono juga menyoroti beberapa tantangan penguatan basis data kepemilikan manfaat, diantaranya pada kepatuhan pelaku usaha, verifikasi serta validasi data pemilik manfaat. Untuk menindaklanjuti tantangan tersebut, diperlukan sebuah kerangka peraturan agar implementasi data kepemilikan manfaat berjalan dengan maksimal. Di samping itu, diperlukan pula koordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk mengkoordinasikan dan memberikan standar pedoman yang berlaku secara nasional sebagai dasar verifikasi data pemilik manfaat. Pemberlakuan daftar hitam untuk perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan Beneficial Ownership juga dapat menjadi dasar verifikator untuk menolak perizinan.

Melanjutkan paparan dari Agus Cahyono, Alamsyah Saragih menjabarkan beberapa prinsip utama serta mitigasi risiko dalam mengelola informasi Beneficial Ownership yang sebenarnya bersifat privat. Informasi tersebut hanya terbuka apabila: (i) dinyatakan terbuka oleh UU, atau (ii) dapat dibuka sesuai UU dengan cara yang diatur oleh Undang-Undang namun hanya relevan untuk dibuka sepanjang untuk keperluan utilisasi oleh principal. Alamsyah Saragih juga menekankan pentingnya mitigasi risiko dalam teknis pemberian informasi tersebut. Dalam hal tidak ditemukan kesepakatan optimal mengenai risk-tolerance yang bersedia ditanggung oleh para pihak, maka keputusan diserahkan kepada otoritas yang legitimate.

Dalam paparan tersebut, Alamsyah juga memaparkan detail terkait matriks resiko yang perlu dipertimbangakan pengelola data kepemilikan manfaat. Menurut Alamsyah, resiko dapat dipetakan melalui matriks analisis karena erat hubungannya dengan mitigasi atas risiko yang mungkin timbul. Sejauh ini, belum ada compliance standar mitigasi risiko dari pihak pengelola data kepemilikan manfaat.

Beberapa teknik dan prosedur mitigasi risiko tersebut dapat dilihat dalam dua pendekatan. Pendekatan pertama dengan cara blackout, informed consent, pemusnahan berdasar pencapaian tujuan dan akses tanpa dokumen. Sedangkan mitigasi risiko pendekatan kedua dapat dilakukan dengan cara restriksi digital sesuai tujuan dan sistem pemusnahan berbasis digital atau ekspirasi dokumen.

Alamsyah merekomendasikan pembuatan regulasi yang utuh dan terintegrasi. Di samping itu, adanya institusi penyelesaian dispute dan institusi pengelolaan pertukaran menjadi semakin penting. Alamsyah juga menyebutkan pentingnya infrastruktur serta tenaga profesional di bidang teknologi dalam mengelola informasi kepemilikan manfaat tersebut. Dalam pernyataan penutupnya, Alamsyah Saragih mengatakan, “Negara High Risk menyambut semua investor dgn segenap suka cita, negara smart hanya ramah kepada investor yang berkualitas. Jika kita mampu membangun keterbukaan data beneficial ownership yg baik seharusnya kita pandang sebagai upaya indonesia untuk menjadi negara yang smart dalam konteks investasi bukan untuk mengganggu investasi.”

Dalam sesi diskusi dengan partisipan, dibahas pula pentingnya verifikasi terhadap data Beneficial Ownership sebelum data tersebut dibagikan. Hal ini bertujuan agar data yang dibagikan adalah terkonfirmasi dengan benar untuk menghindari praktik pencucian uang. Terdapat pula, beberapa poin diskusi dengan partisipan yang mengangkat keterkaitan antara keterbukaan Beneficial Ownership data dengan peningkatan investasi.

Penulis: Azhania Nurhidayah Siswadi
Editor: Aryanto Nugroho