Indonesia merupakan salah satu produsen batubara terbesar di dunia, dengan total produksi mencapai 616,16 juta ton pada tahun 2019. Tren produksi batubara Indonesia selama dua dekade terakhir mengalami peningkatan yang pesat meskipun total cadangan batubara Indonesia sendiri berada di peringkat sembilan terbesar di dunia, yakni hanya 2.2% dari cadangan batubara dunia. Peningkatan produksi batu bara yang cukup besar merupakan dampak akumulatif dari “booming” izin pertambangan sejak awal desentralisasi di Indonesia. Sejak itu, produksi batubara terus meningkat secara signifikan. Dari total produksi tersebut, sekitar 70-80% diekspor dan menjadikan Indonesia merupakan negara eksportir batubara terbesar kedua dengan total ekspor mencapai 454,4 juta ton pada tahun 2019.

Batubara merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara bukan pajak. Pada tahun 2018, batubara menyumbang PNBP sebesar Rp22,4 triliun yang menyumbang sekitar 1,2% dari total penerimaan negara. Belum lagi penerimaan negara dari pajak, kontribusi yang cukup besar dari perusahaan batubara menyebabkan batubara dieksploitasi dan diekspor secara besar-besaran. Sayangnya, eksploitasi besar-besaran belum memiliki tata kelola yang baik di sektor batubara. Terdapat banyak celah bagi sektor swasta untuk menghindari pembayaran pajak di sektor batubara. Diperkirakan pendapatan dari batubara belum optimal dan tidak sebanding dengan kerugian akibat kerusakan lingkungan, deforestasi, dan hilangnya mata pencaharian masyarakat sekitar tambang.

Dalam kebijakan bauran energi Indonesia, penggunaan batubara ditetapkan sebesar 30% pada tahun 2025, kemudian menurun hingga 25% pada tahun 2050. Untuk mendukung kebijakan bauran energi tersebut, dalam Rencana Energi Nasional (RUEN) Pemerintah Indonesia telah ditentukan produksi batubara maksimum tahunan. Misalnya, pada 2019 produksi batu bara tidak boleh melebihi 400 juta ton. Upaya pengendalian produksi batubara juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 yang mengamanatkan pembatasan produksi batubara secara bertahap maksimal 400 juta ton per tahun pada 2019, pembatasan ekspor dan pemanfaatan batubara untuk kebutuhan dalam negeri.

Namun, kurangnya pemantauan dan evaluasi menyebabkan banyak penyimpangan dalam pengendalian produksi dan kontrol perdagangan batubara. Pertama, target penurunan produksi batubara secara bertahap yang ditargetkan hingga 400 juta ton pada tahun 2019 tidak dipatuhi, bahkan realisasi produksi mencapai 616,16 juta ton. Kedua, terdapat inkonsistensi kebijakan pengendalian batubara, khususnya terkait penetapan kuota produksi batubara yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Ketiga, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Keempat, tarik ulur kebijakan DMO dan pengendalian ekspor.

Dalam konteks fiskal, sektor batubara menjadi salah satu sumber penerimaan negara untuk membantu meningkatkan kinerja fiskal. Dengan pertimbangan tersebut, opsi kemudahan ekspor batubara menjadi lebih menarik dibandingkan menjual ke pasar domestik, terutama dalam bentuk Domestic Market Obligation (DMO). Wacana terakhir adalah pencabutan DMO dan optimalisasi ekspor batubara agar sektor pertambangan batubara bisa berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara. Namun, perlu dicatat bahwa penerimaan negara dari batubara belum sepenuhnya optimal, dengan banyaknya indikasi tata kelola yang buruk dan berpotensi adanya risiko penghindaran dan penggelapan pajak.

Berdasarkan situasi tersebut, diperlukan upaya untuk mendorong percepatan transisi energi di Indonesia, khususnya dari batubara ke sumber energi terbarukan dalam bauran energi nasional yang tidak akan tercapai tanpa penguatan upaya pengendalian produksi dan perdagangan batubara serta perbaikan tata kelola industri batubara, terutama terkait dengan aspek penerimaan negara dan perdagangan komoditas. Oleh karena itu, PWYP Indonesia akan terus melakukan advokasi kebijakan di bidang energi dan rencana pembangunan untuk mengendalikan laju eksploitasi batubara dan di bidang anti korupsi terkait dengan menutup potensi penghindaran dan penghindaran pajak batubara yang merugikan negara. PWYP Indonesia juga akan memainkan peran kunci penting dalam proses pembuatan kebijakan, khususnya dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah yang sejalan dengan kebijakan energi nasional, serta implementasinya dan perinciannya di tingkat daerah.

Melanjutkan pekerjaan kami sebelumnya, PWYP Indonesia akan mendorong penguatan pemantauan kebijakan pengendalian produksi batubara yang berorientasi pada pemenuhan bauran energi nasional; mendorong transparansi dan akuntabilitas penetapan kuota produksi batubara di tingkat nasional dan daerah, seperti melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Jangka Menengah Kementerian Energi dan Mineral; pemantauan pelaksanaan RUEN, khususnya di sektor batubara; dan menganalisis Rencana Energi Daerah (RUED) di provinsi penghasil batubara dan implementasinya. Kami juga mendorong transparansi dan akuntabilitas kebijakan DMO batubara di Indonesia dalam hal kepatuhan perusahaan. Tujuan akhirnya adalah mendorong transisi energi bersih melalui transparansi dan akuntabilitas pengelolaan produksi/perdagangan batubara di tingkat nasional dan daerah.

Dalam konteks antikorupsi, PWYP akan menganalisis praktik umum terkait penghindaran dan penggelapan pajak di sektor batubara. PWYP Indonesia akan menindaklanjuti temuan penelitian dan rekomendasi terkait illicit financial flow di sektor industri batubara; melakukan kajian pemetaan risiko korupsi perpajakan di sektor batubara; mengkaji putusan pengadilan pajak di bidang batubara; mempromosikan transparansi putusan pajak, dan mengembangkan rekomendasi kebijakan untuk transparansi yang lebih baik di sektor batubara dan pertambangan; dan memantau pelaksanaan pengungkapan data Beneficial Ownership di Indonesia. Tujuan akhirnya adalah mendorong perbaikan sistem perpajakan dan fiskal niaga batubara yang transparan dan akuntabel untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi negara.