Jakarta – Isu pengelolaan batubara nasional dalam beberapa waktu terakhir terus menjadi sorotan dan topik diskusi dari berbagai pihak. Sebut saja mengenai kuota produksi tahunan, dorongan ekspor, penetapan harga dan kewajiban memasok pasar domestik (domestic market obligation), peningkatan nilai tambah, hingga batubara dalam konteks transisi energi. Publish What You Pay Indonesia menyelenggarakan diskusi daring multi-pihak yang bertemakan “Transisi Energi dan Strategi Pengelolaan Batubara Nasional: Kebijakan – Pelaksanaan – Peluang – Tantangan” pada Kamis (30/9). Diskusi ini dihadiri oleh beberapa narasumber: Cecep Yasin, Koordinator Perencanaan Produksi dan Pemanfaatan Minerba, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM); Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI); Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA); Christianus Benny, Kepala Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur; Frenky Simanjuntak, Peneliti PWYP Indonesia; dan Radikal Lukafiardi, Peneliti PWYP Indonesia.

Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia membuka diskusi dengan melihat bahwa transisi energi dan strategi pengelolaan batubara nasional perlu melihat berbagai perspektif yang bukan hanya dari pemerintah saja, tetapi juga dari seluruh elemen pemangku kepentingan sehingga proses pengambilan kebijakan dalam transisi energi diharapkan adil dan berkelanjutan.

“Diharapkan adanya forum multi pihak ini memberikan progres kedepannya dan menjadikan diskusi lebih menarik dalam konteks mempercepat transisi energi. Disisi lain kebutuhan energi di Indonesia tetap terpenuhi dan tidak mematikan industri energi dalam negeri serta tidak berdampak negatif bagi ketersediaan energi di masa mendatang,” ungkap Aryanto.

Frenky Simanjuntak, diawal diskusi mengungkapkan bahwa proyeksi terhadap cadangan energi di Indonesia berpotensi habis dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, hal ini juga terlihat sebagaimana perkembangan terbaru di dunia dewasa ini yakni bagaimana investasi batu bara juga semakin berkurang karena kurangnya minat investor untuk berinvestasi di bidang energi ini.

“Pada prinsipnya, bahwa ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan, pertama: sebaiknya kebijakan energi nasional memperhatikan aspek cadangan batubara yang kemungkinan akan habis beberapa puluh tahun mendatang, sehingga apakah masih relevan menggunakan batubara sebagai cadangan utama energi, kedua: phasing out batubara perlu menjadi catatan bagi Dewan Energi Nasional dan stakeholder yang terkait bagaimana menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi, ketiga: hendaknya bertindak sekarang juga terkait emisi karbon,” ungkap Franky.

“Bauran energi nasional kita masih didominasi energi fosil, dan batubara memiliki proporsi yang dominan dan trennya terus meningkat, namun Indonesia telah berkomitmen untuk melakukan penurunan emisi karbon sebesar 29% pada tahun 2030 melalui Nationally Determined Contribution (NDC), hanya saja dalam konteks transisi energi, maka sudah seharusnya porsi Energi Terbarukan kedepannya memiliki andil yang besar dalam bauran energi nasional dibandingkan energi fosil,” tutur Radikal Lukafiardi

Radikal juga menyampaikan rekomendasi kebijakan dari hasil kajian tersebut yang bisa diusulkan, yakni: kebijakan pengendalian produksi batubara harus dilaksanakan secara konsisten dan didukung dengan kebijakan yang efektif dalam pengawasan kontrol atas kuota produksi yang diusulkan oleh pelaku usaha, penetapan target produksi batubara melalui mekanisme top-down yang kemudian diturunkan dalam kuota per wilayah/region dengan mempertimbangkan neraca cadangan, kebutuhan domestik, dan lingkungan, pelaksanaan DMO yang efektif perlu didukung dengan penerbitan regulasi yang jelas dan konsisten, termasuk mekanisme pengawasan dan penerapan sanksi yang tegas bagi yang tidak memenuhi kebutuhan DMO, pengetatan dan pengawasan ekspor batubara harus semakin ditingkatkan, agar penerimaan dan devisa efektif mendukung perekonomian namun tidak menimbulkan ketergantungan yang berkepanjangan.

“Transformasi energi ini tentu saja dapat dilakukan oleh berbagai industri mana saja jika teknologi yang digunakan bersifat ekonomis dan visible, sehingga bukan hanya di pertambangan batubara berupaya untuk melakukan transisi energi tetapi setiap industri mungkin akan berlomba-lomba dalam melakukan transformasi ini, namun sebaliknya jika tidak ekonomis maka akan terdapat hambatan nantinya,” ungkap Hendra Sinadia

Meskipun pada dasarnya dalam pengembangan energi terbarukan membutuhkan teknologi yang cukup mumpuni dengan harga yang tergolong mahal dan masih dihasilkan dari luar negeri, hanya saja sudah ada beberapa bentuk upaya yang dilakukan oleh Indonesia dalam pemrosesan batubara dengan menaikkan nilai tambah atau yang sering disebut “hilirisasi”. Peningkatan nilai tambah atau hilirisasi ini mungkin masih tergolong lamban dikarenakan para pelaku usaha untuk memerlukan dukungan baik fiskal atau non-fiskal yang memadai dalam jangka panjang yaitu sejak diterbitkannya UU No. 3/2020 dan UU No.11/2020 sebagai bentuk instentif terhadap pengembangan hilirisasi batubara.

“Seperti yang kita tahu memang batubara banyak sekali menyumbang pendapatan negara, tetapi sudah saatnya kita tidak hanya melihat dunia ekstraktif, tetapi mendorong ke dunia industrialisasi lain yang lebih clean dan service oriented market, agar Indonesia tidak hanya memperoleh pendapatan dari industri ekstraktif saja, dan ini berlaku tidak hanya pemerintah pusat melainkan juga pemerintah provinsi, kabupaten/kota,” tambah Elrika Hamdi.

Data dari Kementerian ESDM menyebutkan sebanyak 86% cadangan batubara merupakan batubara kalori sedang dan rendah, dengan sumber daya sebanyak 145,7 miliar ton dan cadangan sebanyak 38,8 miliar ton. Hanya saja, batubara berkalori rendah di Indonesia sebanyak 33% dari total cadangan batubara Indonesia masih belum dimanfaatkan secara optimal. Cecep, perwakilan dari KESDM, mengungkapkan produksi batubara Indonesia masih akan stabil di angka 650 hingga tahun 2030 karena meningkatkannya permintaan domestik dan akan mengalami penurunan setelahnya seiring dengan turunnya permintaan global akibat transisi energi. Di Indonesia, batubara itu sendiri masih menjadi energi primer yang masih banyak digunakan.

“Saat ini pemerintah masih fokus dalam menyiapkan langkah-langkah dalam merencanakan dan mengelola transisi energi ini, termasuk mengatur strategi agar transisi dapat tetap memberikan peluang bagi perekonomian,” ungkap Cecep Yasin.

Dalam konteks daerah, Christianus Benny menyebutkan bahwa Provinsi Kalimantan Timur berupaya untuk memaksimalkan pemanfaatan potensi EBT dan pelaksanaan konservasi energi yaitu pada tahun 2025 bauran energi baru dan terbarukan setidaknya mencapai 12,4% berdasarkan sasaran RUED Provinsi Kalimantan Timur. Selain itu juga, sasaran lainnya berupa rasio elektrifikasi Provinsi Kalimantan Timur 100% di tahun 2025, dimana seluruh desa pada kawasan perbatasan negara sudah berlistrik dengan pasokan energi listrik setidaknya 600 watt setiap harinya dan terjaminnya ketersediaan listrik untuk kawasan industri, terutama kawasan industri Bontang, Kariangau, dan Maloy Batuta.

Diskusi ditutup dengan harapan transisi energi yang berlangsung dan segera ingin dijalankan tidak hanya berfokus baik secara teknis dan financial tetapi juga melihat bagaimana peluang dan tantangan transisi energi guna mewujudkan kemandirian energi nasional yang berkelanjutan dan adil. (RJ)