Jakarta, PWYP Indonesia – Pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilakukan secara sistematis melalui revisi undang-undang KPK (UU No. 19 tahun 2019) hingga yang terkini melalui penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menyebabkan tersingkirnya pegawai-pegawai KPK yang berintegritas dan berhasil menangani kasus grand corruption yang melibatkan petinggi partai politik, anggota DPR, dan petinggi kepolisian. Publish What You Pay Indonesia (PWYP) bekerjasama dengan Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi (GAK LPT) mengadakan webinar untuk memberikan pemahaman kepada publik mengenai peranan besar KPK dalam memberantas korupsi di sektor pertambangan dan sumber daya alam (SDA). Hadir sebagai narasumber dalam webinar ini Sujanarko (mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK); Hania Rahma, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan penyuluh anti korupsi; Faisal Basri, ekonom senior dari Universitas Indonesia; dan Maryati Abdullah, senior advisor PWYP Indonesia. Kemudian Arip Yogiawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) berperan sebagai moderator dalam webinar ini.

Sujanarko, mantan direktur PJKAKI KPK mengawali diskusi dengan perbandingan antara kondisi pemberantasan korupsi sebelum reformasi dan setelah reformasi. Ada banyak dana internasional yang masuk dalam bentuk pinjaman, hibah, atau investasi ke domestik, namun aliran dana masuk tersebut malah merusak demokrasi pada masa sebelum reformasi. “Dana internasional tersebut tidak dapat dimonitoring sehingga pengawas internasional tidak dapat mengawasi penggunaan dana tersebut” ujar Sujanarko.

Kondisi tersebut berbalik setelah diselenggarakannya UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) setelah reformasi yaitu pada tahun 2003. Dengan berdirinya KPK di tahun yang sama, pengawas internasional sangat terbantu dengan keberadaan KPK yang mampu memonitor penggunaan dana internasional di tingkat domestik. Meskipun demikian, kondisi politik pasca reformasi masih ditandai dengan tidak adanya akuntabilitas vertikal pejabat publik dan partai politik yang tidak mewakili kepentingan rakyat Indonesia dan SDA Indonesia dikuasai oleh investor asing yang berperan sebagai beneficial owner (pemilik manfaat akhir dari korporasi).

Kemudian KPK mulai menangani kasus korupsi SDA sejak tahun 2007. Kasus penyuapan yang melibatkan kepala daerah dan pimpinan perusahaan seringkali diputus tanpa menimbulkan efek jera akibat hukuman pidana penjara yang singkat serta akibat dari keberadaan perusahaan cangkang (shell company). KPK juga melakukan kajian dan pemberian rekomendasi untuk memperbaiki tata kelola sektor SDA, misalkan seperti One Map Policy dan inisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA).

Sujanarko berpendapat bahwa biaya politik yang tinggi, rente yang besar dari sektor SDA dan oligarki yang memasuki aktivitas parpol menyuburkan korupsi di sektor SDA. Ia menawarkan pembenahan partai politik melalui implementasi SIPP (Sistem Integritas Partai Politik). Selain itu, ia juga mendorong Indonesia untuk menutup Gap regulasi yang ada seperti pemidanaan untuk suap terhadap pejabat publik asing (bribery of foreign public official), memperkaya diri sendiri (illicit enrichment), perdagangan pengaruh (trading in influence), dan korupsi sektor swasta (private sector bribery).

Terkait dengan pelemahan KPK lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Sujanarko berpendapat bahwa KPK kali ini dilemahkan karena “serangan dari dalam”. Ia memprediksi bahwa KPK akan lumpuh kedepannya. “(seharusnya) kita tidak bergantung pada birokrasi, tapi bergantung pada masyarakat yang terstruktur” ujar Sujanarko.

Sedangkan Hania Rahma, akademisi dari Universitas Indonesia (UI) memberikan penjelasan bahwa daerah yang memiliki ketergantungan terhadap sumber daya alam ternyata cenderung mengalami fenonema kutukan sumber daya alam (natural resource curse). Kalimantan Timur, Riau, dan Papua Barat tidak berhasil mensejahterakan rakyat di daerah tersebut meskipun daerah tersebut memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang sangat besar. “Korupsi yang tinggi dan rendahnya integritas kepala daerah itu menjadi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya natural resource curse” ujar Hania Rahma.

Ia berpendapat bahwa sektor sumber daya alam adalah sektor yang termudah untuk dijadikan sebagai sumber pendanaan partai politik karena rente yang sangat besar dari sektor ini. Selain itu korupsi sektor tambang juga lazim karena korupsi tambang bisa dilakukan dalam kurun waktu puluhan tahun dan baru berhenti ketika SDA-nya habis. Penanganan kasus korupsi sektor tambang yang dinilai cukup sulit juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam pemberantasan korupsi di sektor tambang.

Sebagai solusinya, Hania Rahma mendorong kebijakan mendesak melalui peta valuasi kekayaan alam dan Natural Capital Index (NCI) agar dapat menentukan nilai aset alam sehingga kompensasi kerusakan lingkungan akibat ekstraksi SDA dapat ditentukan secara tepat, penetapan skema insentif dan disinsentif dalam pengelolaan SDA lewat kebijakan transfer fiskal, serta pembentukan Natural Resource Fund untuk keberlanjutan SDA bagi generasi yang akan datang.

Sedangkan Faisal Basri memulai paparannya lewat konsep grand corruption, yaitu penyalahgunaan kekuasaan di tingkat atas yang menguntungkan segelintir orang, merugikan rakyat banyak dan mendapatkan impunitas. Ia beranggapan bahwa grand corruption di sektor sumber daya alam (SDA) dapat terjadi karena korupsinya dilegalkan oleh undang-undang.

Faisal Basri menyoroti kemerosotan pajak di sektor pertambangan—dilihat dari tax coeffient sektor tambang yang hanya sebesar 0,66. “Koefisien yang rendah tersebut disebabkan oleh korupsi dan fasilitas yang membebaskan pajak bagi pengusaha di sektor tambang” ujar Faisal Basri. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa investasi di Indonesia yang tidak berkualitas. Rasio ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia mengalami kebocoran yang terbesar di Asia Tenggara.

Sebagai solusinya, Faisal Basri menuntut agar perlu dilakukan audit pemberian fasilitas perpajakan (tax holiday) dan audit nilai investasi yang kemungkinan besar di mark-up.

Sedangkan Maryati Abdullah menyoroti korupsi yang terjadi di sepanjang rantai nilai sektor pertambangan, mulai dari perizinan, pemungutan pendapatan (revenue collection), hingga transfer mispricing yang difasilitasi oleh perusahaan cangkang. Struktur politik yang didominasi oleh oligarki dan keberadaan mafia hukum semakin memperparah korupsi di sektor sumber daya alam (SDA).

Sebagai solusinya, Ia berpendapat selain melalui pengawasan pajak, pengawasan penegakan hukum, independensi pers, dan penguatan kontrol publik, kebebasan akademia menjadi salah satu elemen penting untuk memperkuat demokrasi dan dapat mendukung pembentukan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). “Apabila kampus tidak memiliki independensi, kampus akan berpotensi menjadi pendukung aktor-aktor yang melemahkan gerakan anti korupsi”, ujar Maryati Abdullah. (FY)