kpk

Tanah Jawa yang potensi tambangnya jauh lebih sedikit ketimbang wilayah di Kalimantan dan Sumatera ternyata menyimpan persoalan yang tidak sedikit. Ronald M Ferdaus dari KPH Jawa yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Tambang dan Hutan menguraikan carut marut itu pada Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Batubara (Monev Korsup Minerba) KPK di Semarang (20/5) lalu untuk wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.

Berdasarkan temuan masyarakat sipil berdasarkan data Dirjen Planologi tahun 2014 menunjukkan Izin pertambangan di 4 provinsi terindikasi berada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Sebanyak 58 IUP masuk di kawasan hutan lindung, dan 15 IUP masuk di kawasan hutan konservasi. “Menanggapi hal ini, koalisi antimafia tambang meminta pemerintah selaku pemberi izin untuk menghentikan pertambangan di kawasan konservasi dan lindung, serta mendesak KPK menyelidiki kemungkinan adanya kasus korupsi dalam pemberian izin ini,” papar Ronald.

Ronald menambahkan, hampir 50% IUP di 4 provinsi masih berstatus non-Clear and Clean (CnC). Berdasar data Dirjen Minerba ini, menunjukkan masih maraknya pelanggaran yang dilakukan pemegang IUP dalam menjalankan usaha pertambangan. “Juga pemerintah daerah dan pusat yang masih lemah dalam memberikan sanksi kepada pemilik IUP non-CnC,” tambah Ronald.

Realitas pertambangan di Jawa juga memiliki karakteristik sendiri, yakni munculnya potensi eksploitasi terhadap pegunungan karst seperti di Rembang dan pegunungan karst Sewu yang membentang dari Pacitan, Jawa Timur hingga Gunung Kidul, DI Yogyakarta. “Padahal wilayah karst menyimpan potensi air yang cukup besar sehingga apabila terjadi eksploitasi maka potensi air itu akan tergerus signifikan,” tegas Ronald.
Karenanya, banyak masyarakat sipil beserta kelompok warga yang kerap melakukan penolakan atas rencana pembangunan pabrik semen di kedua daerah.

Plt Pimpinan KPK yang hadir dalam kegiatan tersebut, Johan Budi SP sempat menyampaikan kekecewaanya di forum tersebut karena tak satupun Gubernur maupun Wakil Gubernur yang menghadiri acara itu.

Korsup KPK 4 provinsi ini dihadiri oleh berbagai perwakilan masyarakat sipil antara lain: PWYP Indonesia, WALHI, Auriga, YLBHI, KPA, KPH Jawa, WALHI Jogja, ARUPA, IDEA Yogyakarta, Front Nahdiyin untuk Kedaulatan SDA, LBH Jogya, SD Inpres Jember, PPLH Mangkubumi Tulungagung, FITRA Jatim, Pusaka Sidoarjo, KPA Jawa Tengah, LPPSLH, Agra Wonosobo, Setam Cilacap, LPAW Blora, LBH Semarang, JPIK Jateng, SPP Pasundan, dan WALHI Jabar.

Pantauan Masyarakat Sipil di NTT & NTB

Kegiatan Monev Korsup Minerba KPK di Kupang juga tak lepas dari pantauan masyarakat sipil yang ada di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan temuan Koalisi Anti -Mafia Tambang total potensi kerugian dari land rent di kedua wilayah mencapai Rp64,47 miliar. “Hasil penghitungan Koalisi ditemukan potensi kerugian negara di wilayah Nusra dari iuran land rent mengacu pada PP Nomor 9/2012 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak,” kata Melkior Nahar dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT, Kamis (4/6).

Melki mengatakan dari perhitungan yang ada diperoleh selisih yang signifikan antara potensi penerimaan daerah dan realisasinya. Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan potensinya kami sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan (potential lost). “Sejak tahun 2010-2013 diperkirakan potensi kerugian penerimaan mencapai total Rp64,47 miliar, dengan rincian di Provinsi NTT sebesar Rp43,07 dan di Provinsi NTB sebesar Rp21,4 miliar,” tutur Melki.

Selain itu, menurut Melki, keterbukaan informasi di segala bidang telah diamanatkan dalam UU No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik (KIP). Implementasi UU ini telah ditekankan oleh presiden bagi semua pemerintah pusat dan daerah untuk membuka data publik untuk kepentingan masyarakat umum termasuk data tentang izin perusahaan, Amdal dan kebijakan pertambangan lainnya,” katanya.

Pengalaman Koalisi Anti Mafia Tambang di NTT dan NTB menujukkan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki komitmen keterbukaan informasi publik dan memilih menutup atas data dan informasi yang terkait dengan dokumen izin usaha pertambangan, tahap-tahap operasional dan pasca-tambang.

Korsup KPK NTT dan NTB ini dihadiri oleh berbagai perwakilan masyarakat sipil antara lain: PWYP Indonesia, Auriga, WALHI NTT, Perkumpulan PIKUL, JPIC OFM, FORMADDA NTT, GERAM NTT, SOMASI NTB, LSBH NTB, WALHI NTB dan KNTI