Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendukung Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba, Kementerian ESDM untuk menindak tegas pelaku usaha sektor pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang tidak mau melunasi kewajiban tunggakan utang penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Baik itu oleh pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) maupun PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) dan KK (Kontrak Karya). Kementerian ESDM juga didorong untuk lebih berani membuat special treatment (tindakan khusus) seperti penyusunan daftar hitam (black list) perusahaan dan pencabutan izin usaha serta penegakan hukum.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah mengatakan, pelaku usaha tambang yang tidak patuh dan ‘membandel’ harus diberikan sanksi tegas sekaligus dimasukan daftar hitam. Skema blacklist bisa didorong melalui koordinasi, serta kerjasama dan pertukaran informasi dengan Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU), Kementerian Hukum dan HAM untuk mengetahui siapa legal owner (dan juga ultimate beneficial owner) dari pemilik usaha pertambangan tersebut.

“Di sektor migas, SKK Migas telah memulai melakukan kerjasama pertukaran informasi dengan Dirjen AHU. Hal ini bagus untuk dicontoh di sektor Minerba, mereka yang telah diblacklist harus ditembuskan kepada aparat penegak hukum dan juga institusi regulator keuangan serta perbankan agar ditindak dan menjadi catatan khusus bagi dunia perbankan dan keuangan untuk memberikan akses modal” tegas maryati.

Seperti diketahui, berdasarkan data yang disampaikan oleh Direktur Penerimaan Minerba-Kementerian ESDM Jonson Pakpahan di media minggu ini, Per-Februari 2017 total tunggakan PNBP dari pelaku usaha pertambangan ditaksir mencapai sekitar Rp 5,072 triliun. Piutang tersebut dikontribusikan dari berbagai jenis rezim perizinan, yaitu piutang dari ribuan pelaku usaha IUP sekitar Rp 3,949 triliun, PKP2B sekitar Rp 1,101 Triliun 920 miliar dan KK sekitar Rp 20,636 miliar (Investor Daily, 13 Maret 2017). Sementara piutang perusahaan PKP2B Generasi I yang pada akhir tahun lalu (2016) kurang lebih mencapai 21 triliun sendiri dinyatakan telah selesai proses set off.

Pemerintah saat ini telah memberikan tenggat waktu penyelesaian piutang PNBP tersebut paling lambat 31 Maret 2017. Ditjen Minerba juga telah menerbitkan Surat Pemberitahuan Piutang PNBP ke seluruh Gubernur di Indonesia. Konsekwensi jika tidak melunasi kewajiban piutang PBP tersebut sebelum 31 Maret 2017, Ditjen Minerba tidak akan memberikan ijin sertifikasi CNC (Clean and Clear), Ijin Eksportir Terdaftar (ET), Surat Persetujuan Ekspor (SPE) dan izin syahbandar.

Di sisi lain, PWYP Indonesia mengapresiasi proses penyelesaian piutang yang tengah berlangsung, data tunggakan tersebut berkurang dari yang sebelumnya mencapai 26-an Triliun Rupiah. “Korsup Minerba yang diinisiasi oleh KPK bersama Kementerian ESDM telah berjalan lebih dari 3 tahun dan mengungkapkan banyak hal, termasuk soal sengkarut kepatuhan dalam kewajiban keuangan pelaku usaha, salah satunya mengenai tunggakan PNBP ini. Saatnya pemerintah untuk lebih tegas kepada industri berbasis sumber daya alam yang berdampak signifikan bagi lingkungan ini, apalagi di bawah kepemimpinan Menteri ESDM yang sekarang” tutur Maryati.

Agung Budiono, Peneliti Tata Kelola Minerba PWYP Indonesia mengungkapkan, potensi terbesar piutang tak dapat tertagih sangat besar angkanya mencapai Rp 3,9 triliun yang berasal dari pemilik IUP yang menunggak, terutama yang belum mengantongi sertifikat CNC yang jumlahnya mencapai 3.000-an izin. Ancaman deadline bisa jadi belum menjamin para penunggak akan lekas membayar. Karena itu, upaya penegakan hukum sesuai dengan UU Nomor 20/1997 tentang PNBP perlu ditempuh untuk menimbulkan efek jera bagi perusahaan penunggak. “Tanpa adanya tindakan tegas dari pemerintah, permasalahan ini akan kembali berulang dan daerah selaku penerima manfaat PNBP akan terus dirugikan,” kata Agung.

Di dalam UU No.20/1997 tentang PNBP khususnya Pasal 20 dikatakan bagi Wajib Bayar PNBP yang karena kealpaanya tidak menyampaikan laporan PNBP yang terutang atau menyampaikan laporan PNBP yang terutang tapi tidak benar/tidak lengkap/melampirkan keterangan yang tidak benar/tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak sebesar 2 (dua) kali dari jumlah PNBP yang terutang.

Rizky Ananda Wulan, Peneliti PWYP Indonesia mengingatkan mengenai proses set off yang telah berlangsung bagi PKP2B Generasi-I, penting untuk mendorong transparansi data hasil proses set off. Hal itu dikarenakan penyelesaian piutang 21 triliun tersebut merupakan hasil restitusi dari PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dengan royalti. Dimana royalti merupakan komponen PNBP yang dibagihasilkan ke Pemerintah Daerah. Lantas, jika piutang PKP2B Generasi-I ini dinyatakan telah selesai, lantas apakah triliunan rupiah royalti akan dibagihasilkan ke daerah melalui skema DBH SDA (Pertambangan Minerba) tahun ini? Atau melalui mekanisme lain. Untuk itu, data terpilah perusahaan PKP2B dan daerah-daerah operasinya perlu dibuka kepada Publik untuk memastikan hak daerah atas DBH SDA dari royalti dapat dipenuhi,” tukas Rizky.


Bagikan