Extractive Industry and Forest Governance Program

“Saat ini teknologi memungkinkan kita mengetahui perubahan bentang kawasan hutan dengan mudah, tanpa harus melewati proses yang rumit dan panjang. Kemudahan teknologi ini memungkinkan siapapun untuk turut serta menjaga dan melestarikan hutan”—Asri Nuraeni, Program Manager Extractive Industry Forest Governance.

Hasil temuan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP SDA) tahun 2014 yang diinisiasi oleh KPK menunjukkan bahwa 6.3 juta hektar konsesi tambang di seluruh Indonesia terletak di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Padahal, mengacu pada UU Kehutanan tahun 1999, kegiatan pertambangan terbuka tidak diperbolehkan di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.

Sektor Pertambangan merupakan salah satu sektor yang berkontribusi terhadap deforestasi di Indonesia, khususnya di Provinsi Papua Barat. Data ESDM mencatat bahwa pada awal tahun 2019 setidaknya terdapat 38 IUP di Papua Barat yang terdiri dari 15 IUP berstatus Clean and Clear, 4 IUP yang telah habis masa berlakunya, 18 IUP berstatus non Clean and Clear, dan 1 IUP bukan logam yang sebagian dari IUP-IUP tersebut berada di kawasan hutan. Padahal, hutan Papua merupakan harapan terakhir atas hutan Indonesia yang utuh, seiring berkurangnya kawasan hutan di Sumatera dan Kalimantan.

Hutan-hutan di Papua merupakan hutan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia yang menjadi rumah bagi 20.000 spesies tumbuhan, 602 burung, 125 mamalia, 223 reptil, termasuk ikon Papua Burung Cenderawasih.[1] Hutan di Papua juga merupakan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, dengan jumlah yang signifikan sehingga menjadi penting bagi Papua untuk mengambil peran dalam aksi perubahan iklim. Selain itu, sebagian besar masyarakat adat Papua juga menggantungkan hidupnya pada hutan, sehingga jika hutan terdegradasi maka banyak sumber-sumber penghidupan masyarakat Papua akan terganggu.

Data Global Forest Watch menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2001 hingga 2018, Papua Barat telah kehilangan 256 kilohektar tutupan pohon, setara dengan 149 Mt emisi CO2. Adapun lima (5) daerah dengan hilangnya tutupan pohon paling besar yaitu Kota Sorong, Sorong, Sorong Selatan, Fakfak, dan Manokwari.[2] Tingkat kehilangan tutupan pohon tertinggi terjadi di tahun 2015. Di tahun yang sama, Papua Barat mendeklarasikan diri sebagai provinsi konservasi. Pemerintah Provinsi Papua Barat mencadangkan 70% wilayahnya sebagai kawasan lindung, sebagai upaya untuk menjamin kesejahteraan dan mata pencaharian masyarakat Papua yang sangat bergantung pada hutan dan alam.

Namun, istilah “konservasi” kini berganti menjadi “pembangunan berkelanjutan”, yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) tentang Pembangunan Berkelanjutan di Papua Barat. Raperdasus ini mencakup keanekaragaman hayati, kawasan daratan, konservasi perairan, pengelolaan hutan lestari, peternakan, pertanian pangan, sumber daya perairan dan perikanan, pertambangan, perubahan iklim, dan ekonomi hijau.

Untuk menjaga kelestarian hutan di Papua Barat, PWYP Indonesia atas dukungan World Resource Institute (WRI) bekerja sama dengan Mnukwar Papua dan organisasi masyarakat sipil lainnya di Papua Barat, menginisiasi program Extractive Industry and Forest Governance (Tata Kelola Hutan dan Industri Ekstraktif). Program ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melestarikan dan memantau hutan lindung dan konservasi, dengan menyandingkan data Global Forest Watch, GLAD Alert, dan data pertambangan.

Program ini akan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu peningkatan kapasitas bagi masyarakat dalam pemantauan kawasan hutan berbasis aplikasi dan berkaitan tata kelola pertambangan, yang menjadi salah satu pemicu hilangnya kawasan hutan. Serta advokasi kebijakan dari temuan hasil pemantauan hutan, dan penegakan hukum atas temuan pelanggaran di kawasan hutan.

Outcome

Meningkatnya tata kelola hutan dan industri ekstraktif melalui pemberdayaan komunitas dan dialog kebijakan antar-pemangku kepentingan. 

Pertama, meningkatnya pemahaman masyarakat dan organisasi masyarakat sipil (OMS) lokal mengenai rantai nilai pertambangan dan instrumen pemantauan hutan serta pelaporan komunitas. Ini bisa dicapai dengan memberikan pelatihan bagi masyarakat dan OMS lokal, tentang rantai nilai pertambangan serta instrumen pengawasan hutan. Serta adanya produksi pengetahuan bersama melalui modul pelatihan dan studi kasus dari cerita masyarakat sebagai instrumen pembelajaran.

Kedua, adanya laporan hasil pantauan masyarakat terkait dugaan operasi pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi. Ini bisa dicapai melalui pembentukan dan pengembangan komunitas pemantau hutan, serta pemantauan aktivitas pertambangan oleh masyarakat melalui overlay data pertambangan dan data Global Forest Watch dan GLAD Alert.

Ketiga, izin tambang yang beroperasi di hutan lindung dan hutan konservasi ditertibkan. Ini dilakukan melalui pertemuan-pertemuan multi-pihak yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan aktor terkait untuk mendiskusikan temuan masyarakat terkait dugaan operasi pertambangan di kawasan hutan. Serta adanya penegakan hukum atas izin-izin yang bermasalah sebagai tindak lanjut dari pelaporan masyarakat.


[1] Kartikasari, Sri Nurani (Ed), dkk. 2012. Ekologi Papua. Jakarta: Yayasan Pusataka Obor Indonesia dan Conservation International. Hal: XXXVII.

[2] http://bit.ly/2U5JakU (Global Forest Watch Platform) diakses pada Selasa, 27 Agustus 2019, 11.00 WIB.