Standar International Council of Mining and Metals (ICMM) mewajibkan pelaksanaan kerangka kerja pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development framework) ke dalam kinerja korporasi mereka. Framework tersebut termasuk satu set dari sepuluh prinsip dan tujuh pernyataan posisi pendukung yang berdasarkan Global Reporting Initiative, UN Global Compact, OECD Guidelines dan ILO Conventions. Untuk mengupas standar ICMM bagi pertambangan khususnya dalam pengendalian deforestasi dan krisis iklim terkini, PWYP menyelenggarakan diskusi online “Mengupas Standar ICMM Untuk Pertambangan Dalam Pengendalian Deforestasi dan Krisis Iklim” sebagai bagian dari kegiatan PWYP Knowledge Forum (PKF) pada tanggal Selasa, 21 April 2020.

Diskusi dimulai dengan pemaparan bahasan standar ICMM oleh Jalal sebagai Co-founder A+ CSR Indonesia, Advisory Board Social Investment Indonesia. Jalal menjelaskan bahwa standar ICMM sudah ada sejak tahun 2003 dan terus diperbarui hingga sekarang. Setidaknya terdapat 10 prinsip pertambangan dan pernyataan posisi dalam standar ICMM, yaitu etis, pengambilan kebijakan, hak asasi manusia, manajemen risiko, kesehatan dan keselamatan, lingkungan, konservasi biodiversitas, produksi yang responsibel, sosial, dan keterlibatan pemangku kepentingan. Kaitannya dengan isu deforestasi dan perubahan iklim, terdapat 5 prinsip penambangan yang terdapat dalam standar ICMM, yaitu manajemen risiko, lingkungan, konservasi biodiversitas, produksi yang bertanggung jawab, dan keterlibatan pemangku kepentingan.

ICMM Mining Principles tahun 2020 membuat ekspektasi kinerja untuk seluruh prinsip menjadi lebih ketat dibandingkan versi sebelumnya. ICMM mengajak seluruh perusahaan tambang baik non-anggota dan anggota ICMM untuk memanfaatkan ICMM Mining principles dalam mereleasisasikan SDGs pada tahun 2030 dan Paris Agreement yang berkaitan dengan pembangunan rendah karbon untuk memitigasi dampak perubahan iklim. “Dengan peningkatan ekspektasi kinerja, tambahan pernyataan posisi, persyaratan keanggotaan yang lebih ketat, termasuk dalam tuntutan transparansi, ICMM berpotensi mendorong peningkatan kinerja lingkungan, sosial dan tata kelola (environmental, social, and governance, ESG) perusahaan tambang anggotanya dan perusahaan-perusahaan tambang lain, “ungkap Jalal.

Sri Raharjo (Direktur Teknik dan Lingkungan, Ditjen Minerba, Kementerian ESDM) sebagai penanggap dalam diskusi tersebut juga menjelaskan bahwa beberapa regulasi di Indonesia sudah sejalan dengan prinsip ICMM, contohnya seperti untuk lingkungan yang diatur dalam PP 78/tahun 2010 mengenai Reklamasi Pasca Tambang, dijelaskan secara detail prinsip-prinsip yang harus dianut oleh perusahaan tambang agar memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku untuk semua skala perusahaan. Berkaitan dengan pembangunan rendah karbon, Sri Raharjo menjelaskan peran pemerintah dalam menyusun regulasi, dan mendorong industri menuju pembangunan rendah karbon. Sri Raharjo juga mengajak peran masyarakat sipil untuk memberikan masukan yang konstruktif bagi pemerintah dalam penyusunan regulasi dan dalam hal pengawasan. Jalal juga menambahkan masa depan rendah karbon akan bergantung dengan sumber utama, seperti energi surya, bayu, serta penyimpanan energi dalam baterai sehingga akan meningkatkan penambangan mineral dan pengolahan logam—sebelum ekonomi sirkular untuk mineral dan logam bisa diaplikasikan secara massif. “Kalau operasi pertambangan tidak bisa dibuat ramah lingkungan (dan juga ramah sosial, dan menegakkan tata kelola), maka masa depan yang rendah karbon hanyalah ilusi,” tambah Jalal.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, yang menjadi moderator dalam PKF tersebut menutup diskusi dengan memberikan pesan bahwa masa depan penurunan karbon di dunia banyak bertumpu di sektor pertambangan dan energi, dan penerapan standar seperti ICMM yang berkaitan dengan lingkungan, sosial, dan tata kelola bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk diterapkan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan rendah karbon. (RL)