Istilah Natural Resource Curse atau kutukan sumber daya alam (SDA) adalah sebuah istilah paradoks dari blessing yang biasanya melekat dengan kepemilikan SDA. Mengapa demikian? Ini terkait dengan fenomena dimana negara yang kaya akan SDA tidak serta merta menjadi negara yang makmur. Namun sebaliknya, justru bisa menjadikan kutukan bagi pemiliknya. Kekayaan alam yang dieksploitasi dan diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakatnya, kadangkala ternyata tidak sebanding dengan dampak negatif yang diakibatkan dalam proses ekploitasinya. Diantaranya, kerusakan alam dan lingkungan secara masif yang berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan hidup yang menjadi sumber penghidupan manusia seperti pencemaran air, tanah, dan udara. Selain dampak terhadap lingkungan, tidak jarang kekayaan SDA ini juga memicu adanya konflik sosial, seperti konflik lahan dengan masyarakat sekitar, serta dampak lain seperti adanya kesenjangan pembangunan ekonomi dan ketimpangan. Dalam berbagai studi, Resource Curse terjadi akibat buruknya tata kelola SDA, termasuk diantaranya berkaitan dengan praktek korupsi.

Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan SDA yang melimpah. Namun, secara ekonomi dan kesejahteraan, masih relatif tertinggal dari negara-negara maju yang kaya SDA lainnya. Timbul sebuah pertanyaan, apakah Indonesia terindikasi sebagai negara yang terkena kutukan SDA? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyelenggarakan PWYP Knowledge Forum (PKF) bertajuk “Resources Curse, Korupsi dan Tata Kelola SDA (Indeks Resourse Curse Daerah Kaya SDA Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia) pada 6 Agustus 2020. PKF adalah forum diskusi dan berbagi pengetahuan yang diselenggarakan secara rutin oleh koalisi PWYP Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas pengetahuan, serta mengembangkan kesadaran dan diskursus publik terkait isu-isu dan kebijakan terkini (dan relatif baru) yang sedang menjadi sorotan publik.

PKF yang dilakukan secara daring ini, menghadirkan Dr. Hania Rahma, pemerhati isu SDA sekaligus akademisi dari Universitas Indonesia yang mengupas disertasi studi doktoral beliau di Institut Pertanian Bogor (IPB) terkait fenomena Natural Resource Curse (NRC) dalam pembangunan wilayah di Indonesia”. Fokus disertasi beliau terutama di sektor SDA, khususnya sektor minyak dan gas bumi, serta pertambangan mineral dan batubara yang memiliki andil cukup besar sebagai sumber penerimaan negara. Menariknya, disertasi beliau tidak hanya sebatas menjawab apakah Indonesia terjerumus dalam jurang kutukan SDA, tetapi juga berusaha menjawab seberapa besar kutukannya, yang dituangkan dalam indeks Regional Resource Curce Indonesia (RRCI) untuk mengukur derajat kutukan SDA di 33 provinsi di Indonesia. Indeks tersebut didapat dengan mengukur terlebih dahulu indeks ketergantungan SDA atau Natural Resource Dependency Index (NRDI) yang mengambil indikator diantaranya Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kemudian indeks pembangunan berkelanjutan atau Regional Sustainability Development Index (RSDI) di tingkat daerah/provinsi di antaranya diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat pengangguran, kualitas lingkungan hidup, dan lain-lain.

Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa fenomena NRC terjadi di tingkat lokal atau provinsi di Indonesia. Hal tersebut dihubungkan dengan variabel tingkat ketergantungan daerah terhadap SDA dan variabel pembangunan berkelanjutan, ditemukan 4 (empat) hal. Pertama, besarnya penerimaan daerah penghasil tambang tidak menjamin terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan yang masif. Kedua daerah yang melakukan ekstraksi SDA rentan terkena fenomena kutukan SDA. Ketiga, daerah yang mengandalkan minyak dan gas bumi ternyata lebih rentan terkena NRC dibandingkan daerah penghasil mineral dan batubara. Keempat, skor daerah dengan skor keberlanjutan yang tinggi memiliki kecenderungan kecil atau jauh dari fenomena NRC.
Penelitian tersebut menemukan (5) lima provinsi utama yang mengalami NRC, yaitu: Kalimantan Timur, Papua Barat, Papua, Riau, dan Aceh. Sementara provinsi yang memiliki tingkat keberlanjutan yang paling tinggi adalah Bali

Gambar 1.1 Indeks Kutukan SDA di Daerah Provinsi/Regional Resource Curse Index (RRCI)

Gambar 1.2
Indeks Ketergantungan SDA (NRDI) dan Indeks Pembangunan Daerah Berkelanjutan (RSDI)

Kondisi-Kondisi kausal yang bisa menjelaskan terjadinya fenomea NRC diantaranya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) tambang yang dominan dibandingkan yang non-tambang; korupsi di area pemerintahan; integritas kepala daerah; izin usaha yang mengantongi status clean and clear sedikit; alokasi dana untuk pendidikan, kesehatan, dan belanja ekonomi rendah.

Tidak hanya itu, penelitian ini juga menemukan variabel mana yang memiliki pengaruh kuat dan variabel pengaruhnya bersifat tidak langsung. Variabel yang paling kuat adalah integritas kepala daerah, oligarki tambang, integritas birokrasi pemerintahan dan tingkat korupsi, sementara pengaruh integritas kepala daerah terhadap kualitas lingkungan hidup memiliki pengaruh sangat kuat dan integritas kepala daerah terhadap reklamasi dan royalti yang dilaporkan memiliki pengaruh kuat dalam mempengaruhi suatu daerah yang mengalami NRC.

Korupsi juga menjadi penyebab utama mengapa fenomena NRC dapat terjadi. Bentuknya adalah suap dan gratifikasi, konflik kepentingan, dan aset SDA yang tidak pernah dianggap sebagai kekayaan milik negara. Data lain yang tidak kalah mengejutkan ternyata banyak kepala daerah yang menyandang status koruptor berada di provinsi dengan indeks NRC yang tinggi seperti di Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kep. Riau, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Malaku Utara, dan Papua.

Sejumlah rekomendasi dihasilkan untuk perbaikan tata kelola SDA. Diantaranya, pemanfaatan SDA perlu dilakukan secara efisien dan berkelanjutan. Agar kepentingan antar-stakeholder dapat sinergis, perlu dibangunnya sebuah framework tata kelola SDA termasuk natural resouce fund di masa depan. Selain itu, perlu penekanan agar kita tidak berorientasi terus menerus pada PDB (Produk Domestik Bruto) dalam mengukur kemajuan ekonomi. Namun perlu berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hak manusia melalui social foundation dan ecological ceiling sebagaimana yang dimaksud dalam pendekatan Doughnut Economic. (Wicitra/Ary)