Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki luas kawasan hutan terluas di dunia (urutan ketiga), dengan jenis hutan tropis dan sumbangan dari hutan hujan di Pulau Kalimantan dan Papua. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019), luasan hutan di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 93,52 juta hektar atau sekitar 49,81% dari total luas daratan. Besarnya luasan hutan tersebut, menjadikan Indonesia sebagai negara yang penting dan sangat strategis bagi dunia untuk melestarikan hutannya sebagai upaya mitigasi dan pengendalian perubahan iklim.

Perubahan iklim tidak terlepas dari profil emisi gas rumah kaca di Indonesia. Pada tahun 2014, Indonesia menyumbang 2,47 gigaton emisi karbon CO2 yang menyebabkan Indonesia berada pada urutan keempat dalam negara penyumbang emisi karbon tertinggi di dunia. Selain itu sumbangan emisi gas rumah kaca Indonesia juga mengalami peningkatan sebesar 63,1% (4,5% per tahun) dalam kurun waktu 2000 hingga 2014 . Sebagian besar sumbangan emisi gas rumah kaca di Indonesia berasal dari sistem tata guna lahan. Emisi dari sektor penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan telah meningkat pada tingkat tahunan sebesar 5,1 persen antara tahun 2000 dan 2017. Tingginya emisi karbon yang diakibatkan oleh sistem tata guna lahan tidak terlepas dari isu deforestasi hutan primer sebesar 8 juta hektar dari tahun 2000 hingga 2017, konversi tutupan hutan menjadi non hutan, dan kebakaran hutan khususnya pada tahun 2015 yang berkontribusi lebih dari 40% dari total emisi yang disebabkan oleh sistem lahan di Indonesia1.

Komitmen Indonesia dalam upaya mitigasi perubahan iklim tertuang di dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020, yang diterbitkan di Januari kemarin. Dokumen RPJMN 2020-2024 memiliki tujuh agenda pembangunan dan salah satunya di bidang lingkungan hidup dengan tiga prioritas nasional yang meliputi: 1) kualitas lingkungan hidup; 2) peningkatan ketahanan bencana dan iklim; dan 3) pembangunan rendah karbon. Pengendalian deforestasi dan reforestasi hutan menjadi bagian dari kebijakan utama dalam pembangunan rendah karbon yang bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Publish What You Pay (PWYP) Indonesia selenggarakan focus group discussion (FGD) bertajuk “Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan dalam Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 dan Kerangka NDC Indonesia”, Selasa (18/8) lalu. Kegiatan ini mengupas lebih lanjut kebijakan pengurangan deforestasi dan degradasi hutan dalam RPJMN 2020-2024. Mendapatkan update progress pelaksanaan kebijakan RPJMN 2020-2024, khususnya dalam pengurangan deforestasi dan degradasi hutan sebagai aksi mitigasi perubahan iklim. Serta mendapatkan gambaran tentang tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam kerangka pengendalian dan pengurangan deforestasi, degradasi hutan, dan perubahan iklim secara umum dari pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan

Dr. Nur Hygiawati Rahayu, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, Bappenas menyampaikan bahwa dari 120 juta hektar daratan, 63%-nya merupakan kawasan hutan, dimana data terakhir ada sekitar 88 juta hektar yang belum ditetapkan sebagai kawasan hutan. “Dalam peta luas daratan Indonesia, Area Penggunaan Lain (APL) sebesar 36% atau 67 juta hektar, hutan konservasi sebesar 12% atau 22 juta hektar, hutan lindung sebesar 16% atau 29 juta hektar dan hutan produksi sebesar 37% atau 68 juta hektar. Di dalam area masing-masing kawasan tersebut ada 14 juta hektar yang masuk dalam kategori hutan kritis. Dengan rincian 8% atau seluas 5,4 juta hektar di kawasan area penggunaan lain, 4% atau seluas 967 ribu hektar di kawasan hutan konservasi, 8% atau seluas 2,2 juta hektar di kawasan hutan lindung, dan 7% atau seluas 4,8 juta hektar di kawasan hutan industri” ujarnya.

Kondisi dan permasalahan kawasan hutan yang terjadi di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Sekitar 0,5 Juta hektar tutupan hutan hilang pertahun (rata-rata tahun 1990-2017), 14,5 juta hektar terdapat konflik tenurial, 32 juta hektar kawasan hutan tidak bertuan, 30% dari 554 kawasan konservasi tidak berfungsi sesuai mandat. Dalam proyeksi deforestasi hingga 2045 berdasarkan Hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RPJMN 2020-2024, setiap tahunnya, hutan semakin berkurang. Salah satu faktornya adalah alih fungsi hutan ke lahan dengan bertambahnya penduduk dan pembangunan pemukiman. Jika tidak diambil langkah kongkrit, hutan akan diambil selalu dilambil alih fungsinya.

Lebih lanjut, perempuan yang biasa dipanggil Ibu Yuke ini menjelaskan bahwa ada beberapa strategi yang dilakukan dalam pengurangan deforestasi dan degdarasi hutan di dalam RPJMN 2020-2024. Diantaranya pengurangan laju deforestasi menjadi 310 hektar/tahun; Penanaman dan pengkayaan di hutan produksi seluas 1,97 juta hektar termasuk luas ekosistem gambut yang terkoordinasi dan difasilitasi restorasi pada 7 provinsi rawan kebakaran dengan target 300.000 hektar pertahun. Sedangkan strategi dan target dalam pembangunan rendah karbon yakni pembangunan energi berkelanjutan, pemulihan lahan berkelanjutan, penanganan limbah, pengembangan industri hijau dan inventarisasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan kelautan.

Dari bacaan dokumen RPJMN 2020-2024, Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia mengungkapkan bahwa problem deforestasi cukup menyebar di berbagai level. “Kita ingin melihat semangat utama RPJMN ini untuk lima tahun ke depan secara utuh. Secara political will, spirit dan motivasi, kami melihat pemerintah sudah menempatkan kesadaran akan krisis lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam salah satu problem statement dan sudah merefleksikan kesadaran akan hal tersebut. Di sisi normatif, kami melihat sudah ada latar belakang yang menjiwai pentingnya dilakukan pengendalian atau pengurangan deforestasi itu dalam kerangka pengendalian perubahan iklim dan kerusakan lingkungan dan resiko bencana”

Namun demikian, Maryati mengingatkan bahwa jika dilihat dari indikator atau outcome, RPJMN 2020-2024 masih terlalu umum, sehingga dibutuhkan indikator yang lebih spesifik. Maryati berharap juga berharap RPJMN 2020-2024 tidak saja bagus di dalam kontekstual tetapi juga diikuti dengan implementasi yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung. Misalnya, terkait dengan Penegakan Hukum (Gakkum), yang sangat penting sekali dalam melakukan penyelidikan, menerima temuan dan laporan masyarakat, dan memfasilitasi masyarakat pemantau hutan. “Kita tidak ingin bagus di kebijakan saja tapi implementasinya kedodoran” pungkas Maryati.

Sejumlah peserta FGD juga menyampaikan sejumlah masukan baik terkait dengan turunan indikator Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) seperti indikator kualitas air, indikator kualitas udara dan indikator kualitas tutupan lahan. Sekalipun dilampirkan, hal itu merupakan capaian dari 2015-2019. Pada target 2020-2024 saya hanya menemukan target umumnya yakni Indeks Kualitas Lingkungan Hidup sebesar 73,25 – 75,25 persen di tahun 2024. Juga terkait dengan data dan target capaian dalam dokumen RPJMN 2020-2024, maupun masukan untuk memberikan ruang kebijakan dalam pelaksanaan RPJMN 2020-2024 dalam konteks mencegah deforestasi hutan dengan meneruskan kebijakan moratorium izin perkebunan sawit.

Untuk diketahui, PWYP Indonesia saat ini tengah menyusun Policy Brief yang diharapkkan dapat memberikan sejumlah catatan kebijakan sekaligus rekomendasi atas dokumen RPJMN 2020-2024 dan NDC Indonesia khususnya dalam pengurangan deforestasi dan degradasi hutan sebagai aksi mitigasi perubahan iklim. Sehingga catatan-catatan diskusi dalam kegiatan ini menjadi bagian masukan yang lebih mendalam dan komperehensif bagi catatan kebijakan yang sedang disusun oleh tim. (Ikhsan/Ary)