Berdasarkan hasil kajian dan monitoring yang dilakukan oleh PWYP Indonesia terhadap laju kerusakan, deforestasi dan degradasi lahan di Indonesia akhir-akhir ini mengalami fase yang sangat tinggi, selain itu hal lain adalah soal transparansi data dari pemerintah mengenai data kerusakan hutan dan layan yang sangat sulit untuk di akses, kedua hal ini disampaikan berdasarkan hasil monitoring sebagaimana dikemukakan dalam kegiatan web binar dengan tema Partisispasi Masyarakat Dalam Penyelamatan hutan dan Lahan di Indonesia, Sabtu 29 Agustus 2020.

Berdasarkan hasil kajian PWYP-Indonesia ditemukan fakta bahwa daerah dengan ancaman paling tinggi kerusakan dan laju deporestasi adalah wilayah Pulau kawasan provinsi di Sumatra dan di Kalimatan, dan kedua wilayah ini merupakan salah satu daerah yang paling tinggi terjadinya laju deforestasi dan degradasi lahan, hal Ini dibuktikan dari data yang dirilis oleh global forest watch Indonesia yang menemukan adanya fakta ada sekitar 27 juta hektar lebih kawasan lahan dan hutan yang mengalami  perubahan fungsi atau setara 17 % dari terjadi dari kurun waktu tahun 2001 s/d 2019, dari hal ini dapat dilihat bahwa adanya peningkatan yang menjadi ancaman serius terhadap kawasan hutan dan lahan di Indonesia,

Selain persoalan diatas, hal lain yang mengemukan dalam paparan tersebut adalah soal transparasi data yang sangat sulit akses terutama soal data-data kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini diseluruh wilayah di Indonesai sama sekali tidak dapat di akses ke lembaga pemerintah sebagai lembaga yang bertanggungjawab dan fakta ini di sampaikan oleh radikal lukafiardi dari peneliti PWYP Indonesia.

Selain fakta yang disampaikan oleh PWYP, fakta lain juga dikuatkan oleh Andi Saragih, dari peneliti Perkumpulan Mnukwar Papua menyampaikan bahwa, laju deforestasi dan degradasi lahan saat ini di Papua akhir-akhir ini mengalami fase peningatan yang sedang tinggi, selain itu soal proses pertaisipasi publik menjadi salah satu factor penentu yang dapat dijadikan sebagai bahan untuk melakukan pemantauan dan pencegahan, dari hasil kajian di papua ditemukan beberapa hal yang menjadi factor kenapa deporestasi lahan di Papua terjadi diantaranya faktor pembukaan kebun warga yang sama sekali tidak diatur dan menjadi penyebab utama diluar kegiatan yang dilakukan oleh pengusaha dan parapihak lain.

Sementara itu, Murdani dari Walhi Nusa Tenggara Barat menjelaskan saat ini luasa hutan NTB saat ini berjumlah 1071 juta dalam kurun waktu 10 tahun terakhir kondisi NTB dihadapkan pada kondisi bencana yang sangat tinggi, hal ini dibuktikan dengan riset dari kajian bahwa 22 % tutupan hutan, 1,4 % terjadi kerusakan setiap tahunnya dan ancaman ini akan berdampak bahwa 20 tahun kedepan NTB dipastikan tidak lagi memiliki hutan, dan akibat dari proses krisis kerusakan hutan ini dampak paling tinggi adalah semakin berkurangnya sumber mata air semakin hari semakin berkurang, dan ini akan menjadi salah satu dampak bencana baru terhadap masyarakat terutama kaum perempuan dan anak yang sangat mmebutuhkan air untuk kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, fakta lain yang menjadi penyebab diantaranya adalah proses dan mekanisme penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan yang tidak berjalan dengan baik, fakta-fakta lain ditemukan adanya 76 kasus kejahatan kehutanan dan lingkungan tidak menjadi perhatian khusus dari aparat penegakan hukum, dan bahkan faktanya ditemukan persoalan baru dimana para cukong kayu nyaris tidak pernah ditindak lanjuti, selain itu pada tahun 2019 adanya 23 kasus perkara baru yang dalam penindakannya hanya menyasar pada pekerja semantara perusahaan dan cukong kayu sama sekali tidak di tindaklanjuti.

Selain itu, berdasarkan hasil kajian walhi NTB tercatat adanya 221 izin Tambang di NTB, 228 ribu Ha kawasan hutan yang dilepaskan dan menimbulkan dampak bencana baru akibat proses tambang, selain itu ditemukan bukti bahwa dana alokasi Jamrek sama sekali tidak ditemukan dan padahal menjadi kewajiban dari pemilik tambang untuk melakukan reklamasi terhadap kerusakan hutan yang ditimbulkan. Selain beberapa masalah yang menjadi pokok utama penyebab degradasi lahan di NTB disebabkan oleh izin atas Tambang, tumpang tindih izin, HGU dan HTI.

Selain itu, Erwin Basrin dari Akar Bengkulu juga menjelaskan tentang kepentingan dalam melakukan advokasi terhadap isu kehutanan, selain itu adanya fakta saat ini bahwa proses penegakan hukum di Bengkulu khususnya soal kejahatan lingkungan dan kehutanan nyaris tidak mendapat perhatian khusus dari aparat penegakan hukum, padahal kondisi saat ini tidak sebanding dengan tingginya angka kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang, izin HGU.

Ahmad alias Among, dari direktur PADI Balik Papan dalam paparannya menyampaikan bahwa proses untuk advokasi terhadap kawasan hutan menjadi sangat penting dilakukan adalah dengan kepentingan untuk penguatan masyarakat di sekitar kawasan hutan, diantaranya soal bagaimana menguatkan peran serta masyarakat untuk melakukan kerja-kerja advokasi berjenjang dalam mengadvokasi wilayah masing-masig terutama kawasan hutan masyarakat adat.

Berangkat dari fakta-fakta diatas, maka beberapa hal yang menjadi langkah cepat yang perlu dilakukan segera oleh Pemerintah adalah dengan mencegah supaya laju deporestasi dan degradasi lahan untuk dapat di cegah, diantaranya melakukan  evaluasi terhadap perizinan baik Izin Tambang, HGU dan HTI yang berada diseluruh wilayah di Indonesia. Selain itu hal lain adalah dengan melakukan review secara menyeluruh terhadap izin-izin yang diduga menjadi penyebab munculnya deporestasi dan degradasi lahan di Indonesia, selain itu hal lain yang paling urgent dan penting adalah soal penegakan hukum yang menjadi salah satu persoalan serius yang belum mampu di tuntaskan secara baik dan proporsonal. (FD)