Gorontalo, (ANTARA GORONTALO) – Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pejabat penerbit izin untuk mencabut perizinan pertambangan, yang bertentangan debgan peraturan perundangan berlaku.

Koalisi anti mafia hutan dan tambang ini juga juga meminta proses penegakan hukum atas pelanggaran seperti kasus pajak dan kerusakan ingkungan tetap dilanjutkan.

Anggota Koalisi, Ariyanto dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan di tiga provinsi yakni Gorontalo, Sulawesi Utara dan Sulawesi Barat dari 224 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan, masih terdapat 106 yang non CnC.

” Non CnC ini artinya belum menempatkan jaminan reklamasi dan pasca tambang. Dari 244 IUP tersebut, hanya satu yang sudah memenuhi kewajiban jaminan reklamasi, lainnya tidak ada,” katanya di Gorontalo, Selasa.

Hasil perhitungan yang dilakukan koalisi itu menunjukkan bahwa sejak tahun 2010-2013 potensi kerugian penerimaan dari sewa tanah (landrent) mencapai Rp47,93 miliar.

Jumlah itu terdiri dari Sulawesi Barat Rp27,8 miliar, Gorontalo Rp12,9 miliar dan Sulawesi Utara Rp7,2 miliar.

Sementara data Dirjen Planologi Kementrian Kehutanan tahun 2014 terdapat 202.150 hektar wilayah pertambangan yang masuk dalam kawasan hutan lindung di tiga provinsi itu, dengan total izin sebanyak 102 IUP dan enam Kontrak Karya (KK).

Sedangkan wilayah tambang yang masuk dalam dalam hutan konservasi sebesar 69.940 hektar dengan 34 IUP dan 5 KK.

“Padahal penggunaan kawasan hutan konservasi untuk kegiatan non kehutanan jelas melanggar Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Konservasi SDA hayati,” tambahnya.

Selain itu kegiatan penggunaan kawasan hutan di kawasan lindung hanya diperbolehkan dalam bentuk pertambangan bawah tanah (underground mining).

“Itupun sampai saat ini tidak ada satu pun pemegang izin yang sanggup melaksanakan praktek ini,” tandasnya.