Jakarta – Melonjaknya izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia terjadi di masa peralihan pemerintahan yang tadinya sentralisasi menjadi desentralisasi atau otonomi daerah. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur perizinan di daerahnya masing-masing.

Berdasarkan laporan Publish What You Pay (PWYP), jumlah IUP sebanyak 750 di 2001 melonjak hingga lebih dari 10.000 IUP di 2010. Dari 10.000 IUP, 40% di antaranya merupakan IUP batu bara dengan total mencapai 16,27 juta hektar. Tapi dari 10.000 IUP tersebut, sekitar 35% di antaranya tidak Clean and Clear, alias bodong karena penerbitannya tak sesuai aturan.

“Perizinan pertambangan booming 2001 sampai 2010 karena tidak sinkronnya masa transisi menuju otonomi daerah,” kata Peneliti PWYP, Rizky Ananda, dalam Diskusi Publik Perbaikan Tata Kelola Batu Bara di Indonesia di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Kamis (8/6/2017).

Upaya pemerintah pusat menghimpun data IUP tambang pasca melonjaknya IUP disesuaikan dengan undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang dilakukan melakukan klasifikasi IUP menjadi clean and clear (CnC) dan non clean and clear (non-CnC). Namun, langkah ini kurang berjalan dengan baik karena adanya penolakan dari sejumlah daerah karena dianggap payung hukum dalam penetuan CnC dan non CnC belum jelas.

Rizky menambahkan, kawasan hutan juga ikut digunakan untuk kegiatan pertambangan dengan 102.000 hektar konsesi batu bara jenis PKP2B terdapat di hutan konservasi. Sementara yang berada di hutan lindung mencapai 123,8 ribu hektar.

Untuk konsesi jenis IUP terdapat 194,8 ribu hektar di kawasan hutan konservasi dan 519,8 ribu hektar di kawasan hutan lindung. Sehingga izin batu bara yang masih ada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi mencapai 940,4 ribu hektar atau 15% dari seluruh luasan konsesi minerba.

“Sebaran konsesi batu bara yang berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung di seluruh Indonesia sebagian besar berada di Papua, Kalimantan Timur, Papua Barat, dan Aceh,” kata Rizky.

Sejak 2014 sampai April 2017 tercatat 776 izin tambang atau 3,56 juta hektar tambang batu bara dicabut atau diakhiri oleh kepala daerah karena dikerahui berstatus non-CnC dan masih dalam tahapan eksplorasi.

IUP batu bara yang tersisa sampai April 2017 mencapai 2.966 di mana 52% atau 1.561 IUP diketahui telah habis masa berlakunya pada Desember 2016. Sedangkan sisanya sebanyak 1.405 IUP SK izinnya masih aktif, namun 217 izin masih berstatus IUP non-CnC.

Dengan adanya temuan tersebut, diharapkan dilakukan penertiban IUP batu bara yang masih bermasalah. Pemerintah daerah perlu bertindak tegas untuk mengatasi masalah ini.

“Pemerintah harus bersikap tegas dan konsisten melakukan pencabutan atau pengakhiran baik di tingkat pusat maupun daerah,” kata Rizky.

Selain itu, perlunya integrasi data dari Kementerian ESDM sangat penting untuk melakukan sinkronisasi izin yang telah ada hingga mengawasi kegiatan pertambangan. Penerimaan negara secara online pun perlu dikembangkan, seperti database perusahaan, data spasial, data rencana produksi, anggaran, hingga izin ekspor. Sehingga bisa melakukan pengawasan dan meningkatkan kepatuhan pajak bagi para pelaku usaha pertambangan. (mca/mca)

sumber: Izin Tambang Naik Tajam Sejak Otonomi Daerah, Banyak yang Bodong