Novi* pernah terlibat aktivitas pertambangan ilegal. Setelah berhenti, kini Novi justru tertarik untuk ikut mengawasi aktivitas pertambangan yang ada di sekitar tempat tinggalnya di Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Mantan suami Novi kala itu memiliki lahan berbukit seluas satu hektar di dekat tempat tinggal mereka. Pada tahun 2012, mantan suami Novi memutuskan untuk membuka lahan itu dan menjadikannya sebagai area persawahan. Pepohonan di lahan itu pun ditebang. Mantan suami Novi juga mempersilahkan siapapun untuk menguruk dan membeli tanah hasil galian dan tanah liat dari sana. Kata Novi, “kalau tanah bukit-bukit di lahan itu tak diuruk, air irigasi tak akan sampai ke sawah karena letaknya di dataran yang lebih rendah.”

“Bukan cuma itu saja sih, tapi juga karena banyaknya permintaan untuk membeli tanah uruk dan tanah liat untuk bahan baku pembuatan batu bata merah,” ujarnya. Tanah di lahan itu juga diuruk dan dibeli oleh pengusaha gerabah dan genteng. Mereka menerima bayaran Rp25 ribu untuk satu truk jungkit.
Mereka tak sendirian. Di desa tempat Novi dulu tinggal, ada belasan penambang galian C – tanah uruk, tanah liat, batuan, dan pasir. Tiga sampai lima truk besar pengangkut tanah pun keluar masuk desa setiap harinya dan merusak jalan yang dilewatinya.

Mantan suami Novi pernah ditegur tetangga karena aktivitas truk-truk pengangkut tanah dan memintanya untuk menghentikan aktivitas penambangan. “Dia [mantan suami] merespon begini, “Ini kan tanah saya, terserah mau saya apakan”, tutur Novi.

Novi sebenarnya tak seratus persen mendukung aktivitas pertambangan itu. Setelah pohon-pohon sengon ditebang dan tanah diuruk, sumur di rumahnya selalu kering setiap musim kemarau datang. Padahal sebelumnya, ia tak pernah kekurangan air bersih, pun saat kemarau. Novi mengaku tak enak hati jika mengeluhkan hal itu ke sang mantan suami. “Saya cuma mengikuti saja. Bagaimanapun itu kan tanah bukan punya saya, punya mertua [yang diberikan ke mantan suami], jadi saya ngga punya hak,” ujarnya.

Aktivitas pertambangan di pekarangan Novi dan mantan suaminya berhenti pada tahun 2014 setelah bukit-bukit di lahan itu rata dengan tanah. Selama dua tahun, hanya sedikit warga yang berani menyampaikan keluhan terkait rusaknya jalan secara langsung ke mantan suaminya. Sebab, kata Novi, mantan suaminya merupakan orang yang cukup dipandang di desanya. Warga yang merasa segan kepada mantan suaminya akan melayangkan teguran ke Novi. Ia hanya bilang, “komplainnya ke suami saya saja langsung, jangan ke saya. Saya ngga punya hak untuk melarang [tambang].”

Turun Lapangan Mengawasi Tambang

Novi adalah seorang guru. Dia mengajar ilmu pengetahuan sosial kepada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dia juga merupakan anggota Forum Masyarakat Peduli Desa dan kader pembangunan manusia di desa tempat tinggalnya saat ini.

Setelah mengikuti Pelatihan Pengawasan Aktivitas Pertambangan untuk Komunitas yang diselenggarakan Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi NTB (SOMASI NTB) dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia pada 21 November 2019, Novi turun ke lapangan. Bersama satu orang temannya, ia mendatangi tujuh lokasi pertambangan di Kabupaten Lombok Tengah menggunakan sepeda motor pada tanggal 29 November sampai 1 Desember 2019.

Meliana Lumbantoruan, Manager Pengelolaan Pengetahuan dan Riset PWYP Indonesia, dan Dwi Ariesanto, Koordinator SOMASI NTB, menjadi pemateri di Pelatihan Pengawasan Aktivitas Pertambangan untuk Komunitas pada 21 November 2019 di Kota Mataram, Provinsi NTB. Foto: SOMASI NTB.

Novi terdorong untuk memantau aktivitas pertambangan sebab ia ingin tahu lebih dalam mengenai dampak pertambangan bagi kehidupan masyarakat, apakah masyarakat diuntungkan atau justru dirugikan. Sebagai kader pembangunan manusia, Novi juga penasaran, bagaimana aktivitas tambang mempengaruhi tumbuh kembang anak-anak yang tinggal di sekitar area pertambangan. Novi semangat untuk mendatangi langsung lokasi-lokasi pertambangan juga karena ingin melihat sendiri aktivitas  tambang dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Novi mengatakan, ia sedih saat melihat kondisi lingkungan area tambang. Berdasarkan pengamatannya, setengah Gunung Prabu, lokasi pertambangan emas ilegal di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah yang ia datangi, sudah gundul, tak lagi rimbun pepohonan. Perbukitan di sekitar gunung ini pun setengahnya rusak karena aktivitas pertambangan. Di lokasi lain, di Kecamatan Pringrata, Novi menemukan lokasi tambang galian C dekat permukiman warga. Di sana, ada sejumlah alat berat untuk menguruk tanah, pasir, dan menggali batu apung. Ia juga melihat ada lubang-lubang bekas tambang dengan kedalaman sekitar 20 meter di wilayah itu. “Kalau ambruk lubang itu, bahaya,” paparnya.

Tak banyak tantangan ia temui saat melakukan pemantauan. Ia sengaja mengunjungi lokasi pertambangan di pagi atau siang hari saat wilayah pertambangan sepi agar lebih leluasa mengamati. Ada sekali waktu saat datang ke daerah Patre, Kecamatan Praya Barat, Novi dihampiri warga dan ditanya ada keperluan apa datang ke area pertambangan. “Warga di sekitar tambang biasanya sensi kalau ada orang baru datang. Jadi saya ngga berani motret saat datang ke sana. Lalu saya bilang ke warga itu kalau saya mau beli batu untuk dijual lagi, jadi ngga terlalu dicurigai,” tuturnya.

Novi mengaku tak kapok menempuh jarak puluhan kilometer untuk memantau langsung aktivitas pertambangan. Ia bertekad untuk terus melakukannya. Novi berharap, temuan-temuannya tentang tambang ilegal di wilayahnya dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ia juga berharap, pemerintah daerah pun aktif melakukan pemantauan langsung ke lapangan, mengecek langsung lokasi pertambangan, apakah berdekatan dengan perumahan atau fasilitas publik lain. Pemerintah juga perlu mencari tahu apakah masyarakat di sekitar tambang memahami betul dampak-dampak buruk yang mungkin muncul. Pemerintah juga harus lebih tegas menindak pelanggaran-pelanggaran yang ada. “Kalau dibiarkan, bagaimana nasib anak-cucu kita nantinya, ngga bisa menikmati lingkungan dan alam yang indah kalau terus dieksploitasi,” ujarnya.


Artikel ini telah dimuat sebelumnya di situs SOMASI NTB, mitra PWYP Indonesia di daerah, di tautan ini.


*) Nama dan lokasi desa di artikel ini disamarkan untuk menjaga keamanan dan privasi narasumber.