Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada September, 2019. Dalam peraturan tersebut, Pemerintah memasukkan ketentuan yang mengatur tentang data dan sistem informasi pertambangan. Pemerintah Provinsi NTB juga menjamin ruang bagi publik untuk berpartisipasi melakukan pengawasan terhadap operasional pertambangan di wilayahnya. Dua klausul ini merupakan jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang dialami masyarakat yang hidup di sekitar tambang, yaitu minimnya akses informasi dan ruang partisipasi.

Aktivitas pertambangan, baik tambang logam dan non-logam cukup marak di Provinsi Nusa Tenggara, termasuk penambangan pasir besi dan pasir laut di pesisir pantai di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah. Sayangnya, potensi pertambangan ini belum berhasil meningkatkan kualitas hidup warga. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan justru menjadikan warga sekitar tambang sebagai pihak yang paling dirugikan.

Di Kabupaten Lombok Timur misalnya, aktivitas penambangan pasir berdampak signifikan terhadap pendapatan para nelayan. Koalisi Anti-Mafia Tambang menyebutkan, limbah hasil pertambangan merusak ekosistem dan mematikan mikroorganisme laut yang menjadi sumber pakan ikan. Semakin sedikit jumlah ikan, tentu semakin kecil pula pendapatan para nelayan. Para nelayan pun terpaksa mengeluarkan ongkos melaut lebih besar agar bisa menangkap ikan sampai ke wilayah di provinsi tetangga, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Para nelayan atau warga sekitar tambang tentu dapat menyampaikan aspirasi mereka kepada pejabat setempat jika menemukan tambang yang tidak mendukung hidup mereka secara layak seperti warga di Kabupaten Lombok Timur. Selain turun ke jalan, upaya lain yang bisa warga lakukan adalah dengan mengakses informasi izin usaha pertambangan untuk memantau kegiatan pertambangan di wilayah mereka.

Sayangnya, menurut Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi NTB (SOMASI NTB), banyak warga enggan berhadapan langsung secara perorangan dengan perusahaan tambang karena takut menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan seperti dugaan yang dialami aktivis lingkungan di Kabupaten Lombok Tengah.

Johan, peneliti SOMASI NTB, menjelaskan, tanpa informasi yang memadai, warga tak akan tahu kewajiban-kewajiban perusahaan tambang dan batasan-batasan yang harus mereka patuhi. Dampaknya, warga pun tidak bisa mengawasi apakah perusahaan sudah memenuhi kewajibannya atau justru melanggar batasan yang telah disepakati. Dengan begitu, warga juga bisa melapor kepada pemerintah atau pihak berwenang jika perusahaan melanggar izin dan merugikan kehidupan mereka.

Merespon masalah itu, Koordinator Badan Pekerja SOMASI NTB Dwi Arie Santo pun mengusulkan kepada pemerintah Provinsi NTB untuk memasukkan aspek keterbukaan informasi dan partisipasi publik ke dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Inisiasi tersebut ia sampaikan saat acara konsultasi publik rancangan perda itu pada Mei 2019. Tak berhenti di situ, dia mengatakan, “komunikasi intensif dan non-formal dengan tim penyusun dan dinas-dinas terkait terus dilakukan [SOMASI NTB] sampai akhirnya perda disahkan pada 11 September 2019.”

Berkat kegigihan SOMASI NTB, di dalam Perda Nomor 9 Tahun 2019 ini, ada ketentuan khusus tentang data dan sistem informasi pertambangan. Ketentuan ini mewajibkan pemerintah untuk menerbitkan informasi dan data pertambangan apa saja yang mereka miliki. Pemerintah juga harus mempublikasikan nama-nama organisasi perangkat daerah yang menjadi pemilik data. Hal ini akan mempermudah warga dalam memperoleh informasi pertambangan untuk bekal melakukan pengawasan. OPD pun tak bisa lagi berkelit dan mengatakan tak punya data jika diminta warga.

Selain itu, ada juga ketentuan yang menjamin hak warga untuk berpartisipasi mengawasi aktivitas tambang. Peraturan ini menjamin hak warga jika ingin mengadukan perusahaan tambang yang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan mereka. Misalnya, warga di pesisir pantai bisa melapor ke pemerintah jika aktivitas pertambangan pasir di wilayahnya menyebabkan turunnya tangkapan ikan mereka.

Meski upaya SOMASI NTB membuahkan hasil signifikan, upaya untuk mendorong perbaikan tata kelola pertambangan di Provinsi NTB belum selesai. Masih ada sejumlah aspek yang belum diakomodir di dalam peraturan ini. Meliana Lumbantoruan, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan PWYP Indonesia mengatakan, setidaknya ada dua poin yang harus dimasukkan ke dalam Perda yang baru disahkan tersebut. Poin pertama adalah perlindungan bagi warga yang melaporkan penyimpangan aktivitas pertambangan. Meliana mengatakan, hal itu penting untuk mencegah kriminalisasi dan persekusi terhadap warga dan juga kelompok masyarakat sipil yang melakukan aduan.

Ia menambahkan, pemerintah juga perlu merincikan persyaratan yang harus warga penuhi sebelum mereka melakukan aduan. “Jangan sampai, nanti saat warga melakukan pengaduan tapi ngga ditindaklanjuti sama pemerintah karena bukti atau persyaratannya kurang,” pungkasnya.


*Artikel ini telah dimuat di website SOMASI NTB pada 2 Desember 2019. Klik di sini untuk mengunjungi website SOMASI NTB.

*Tertarik melihat cerita lain dari NTB terkait keterbukaan kontrak dan perijinan tambang?


Bagikan