Transparansi dan akuntabilitas menjadi prasayarat penting dalam tata kelola pertambangan. Karena keberadaan dua prinsip tersebut merupakan kunci keterlibatan publik dalam mengawasi sektor pertambangan, baik terkait pemanfaatannya untuk pembangunan ekonomi juga berkenaan dengan eksternalitas yang ditimbulkan. Hal ini yang mendasari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama dengan Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyelenggarakan diskusi publik yang bertajuk Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Pertambangan di Provinsi NTB di Mataram pada (18/6) lalu.

Sektor pertambangan masih memegang peranan penting dalam perekonomian NTB, meski trennya terus menurun seiring dengan pertumbuhan sektor lain. Secara agregat, terdapat 278 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di NTB dengan luasan mencapai lebih dari 190.000 hektar atau setara dengan 10% dari luas wilayah daratan NTB.

“NTB tak luput dari masalah pertambangan. Ada temuan 11 izin seluas 36.519 hektar yang berada di hutan lindung dan konservasi, yang nyata-nyata dilarang oleh Undang-Undang (UU) 4/1999 tentang Kehutanan. Persoalan ini sekaligus menegaskan pentingnya pengawasan publik terhadap sektor pertambangan. Namun bagaimana mau ikut mengawasi, jika data izin tambang sulit didapatkan,” jelas Johan Rahmatulloh, peneliti SOMASI NTB, ketika memberikan paparan singkat hasil kajian keterbukaan izin tambang di NTB sebagai pembuka diskusi.

Pernyataan Johan berpijak dari hasil kajian yang ia lakukan bersama dengan tim PWYP Indonesia selama lima bulan terakhir untuk melihat potret keterbukaan izin tambang di NTB sekaligus peluang perbaikannya. Johan menyampaikan bahwa UU dengan jelas memandatkan keterbukaan informasi, termasuk informasi izin tambang. Namun praktik di lapangan berkata lain.

“Ada temuan inkonsistensi organisasi perangkat daerah di NTB dalam pelaksanaan mandat keterbukaan informasi publik. Mereka juga cenderung saling lempar tanggung jawab dalam penyediaan informasi. Ini yang dialami oleh komunitas dampingan kami ketika mengakses dokumen izin tambang,” tukas Johan.

Menanggapi temuan kajian, Mastari, Kepala Bidang Mineral dan Batubara, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTB menegaskan komitmen Dinas ESDM dalam keterbukaan informasi. “Kami tidak pernah menutup-nutupi data izin tambang. Jika ada yang meminta pasti kami beri. Namun untuk dokumen izin, kami tidak berwenang memberikan. Kami hanya memberikan pertimbangan teknis, bukan yang menerbitkan izin,” jelas Mastari.

Sejak adanya kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), perizinan pertambangan di provinsi dilimpahkan ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP). Sementara peranan Dinas ESDM untuk menyusun pertimbangan teknis. Meski demikian, harusnya hal ini tidak menghalangi Dinas ESDM untuk memberikan dokumen izin tambang. Karena merujuk pada definisi informasi publik dalam UU KIP, informasi publik dimaknai sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh badan publik. Namun belum ada kesepahaman akan hal ini di antara peserta yang hadir, khusunya dari unsur pemerintah.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi NTB kini tengah menyusun Peraturan Daerah (Perda) Pertambangan. Namun diakui oleh H. Sofwan, akademisi Universitas Mataram sekaligus anggota tim Penyusun Perda, bahwa dalam draft yang tengah difinalkan belum banyak membahas aspek transparansi dan akuntabilitas. Belum ada pengaturan tentang akses masyarakat untuk memperoleh informasi terkait pertambangan. Materi mengenai informasi masih berkutat pada pengembangan sistem informasi dan pendataan pertambangan sebagai tugas perangkat daerah.

Sofwan menambahkan idealnya, pemberian hak atas informasi kepada masyarakat harus dibarengi dengan pemberian kewajiban ke pemerintah untuk menyediakan informasi. Hal ini untuk menjamin akses informasi yang merata. Jika tidak, hanya masyarakat yang memiliki kapasitas untuk mengakses yang bisa menikmati informasi tersebut.

“Saya yakin ruang masih terbuka lebar untuk penambahan aspek transparansi dan akuntabilitas dalam draft Perda. Jika tidak, nanti kita bisa masukan dalam aturan pelaksana, seperti Peraturan Gubernur,” tukas Sofwan.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menekankan bahwa transparansi dan akuntabilitas bukanlah menjadi keperluan masyarakat sipil semata. Banyak manfaat yang bisa dipetik oleh pemerintah dan sektor privat dari transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pertambangan. Diantaranya menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat, mengurangi potensi korupsi, menumbuhkan persaingan yang sehat dan adil hingga meningkatkan kinerja ekonomi dan pembangunan.

“Banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Misalnya, melakukan keterbukaan informasi publik secara proaktif serta melakukan kolaborasi multipihak. Bisa juga berpartisipasi dalam inisiatif keterbukaan global,” jelas Maryati.