Ditulis oleh: Abdurrahman Wahid, Knowledge Manager SOMASI NTB

“Industri pertambangan telah merusak lingkungan,” kata Jamhur tentang kondisi lingkungan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyebutkan, setidaknya, 200 sampai 250 hektar lahan di wilayah itu rusak akibat tambang batuan, sepertipasir, tanah liat, andesit dan kerikil. Aktivitas tambang pasir yang berlebih menyebabkan penyusutan bibir pantai dan mengganggu kegiatan para nelayan. Limbah bahan kimia seperti merkuri dan sianida yang digunakan dalam pertambangan emas tak berizin juga mencemari daerah aliran sungai dan mengancam kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Jamhur percaya, mengakses informasi pertambangan adalah langkah awal untuk memperbaiki lingkungannya yang telah rusak.

Dalam lima tahun terakhir, hanya ada satu orang yang mengajukan permohonan informasi terkait izin pertambangan di Provinsi NTB. Namanya Jamhur, seorang warga Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Jamhur mengetahui bahwa ia sebagai warga negara memiliki hak untuk mengakses informasi publik dari sebuah pelatihan “Memahami Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pertambangan” pada Maret 2019. Pelatihan itu diadakan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama SOMASI NTB dalam kerangka Program Keterbukaan Kontrak. Dua organisasi itu berupaya untuk meningkatkan partisipasi publik di sektor pertambangan dan dalam mengakses informasi publik.

Tak lama setelah pelatihan Jamhur didampingi SOMASI NTB mengajukan permohonan informasi mengenai izin tambang di wilayah Provinsi NTB kepada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ia meminta beberapa dokumen sekaligus. Setelah menunggu tujuh hari tanpa tanggapan, Jamhur kembali mengirimkan surat permohonan informasi yang sama kepada Dinas ESDM. Beberapa hari kemudian, barulah Dinas ESDM menghubungi Jamhur dan memberitahu bahwa dokumen yang ia minta telah tersedia.

Sayangnya, Jamhur hanya mendapat dokumen berisi daftar nama perusahaan tambang di Kabupaten Lombok Barat, yang kebanyakan adalah perusahaan tambang batuan. Dinas ESDM memberi saran kepada Jamhur untuk meminta sisa dokumen lain kepada dinas pemerintah yang lain. Jamhur pun mengikuti saran itu. Ia datang ke Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTB untuk meminta dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan ke Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) untuk meminta dokumen perizinan tambang yang lain. Namun, seperti pengalaman sebelumnya, setelah menunggu beberapa waktu, ia hanya mendapatkan daftar nama perusahan tambang.

Jamhur mengatakan, meminta informasi dan dokumen izin pertambangan memang tak mudah, terlebih jika permohonan itu datang dari warga sepertinya. Data Komisi Informasi Provinsi NTB menunjukkan, hanya ada 55 permohonan informasi pada tahun 2015. Jumlah itu turun menjadi 22 dan 2 permohonan pada tahun 2018 dan 2019.

Meski tak mendapatkan dokumen yang diharapkan, upaya Jamhur itu telah menginspirasi warga dan komunitas lain di desanya. Warga di Kecamatan Sekotong kini terdorong untuk berdiskusi lebih banyak tentang isu pertambangan dan akses informasi publik. Mereka bahkan berencana untuk meminta informasi dan dokumen di sektor lain seperti pelayanan publik, dana desa, dan pertanahan. (AW)