Laporan: Penataan Izin Batubara Dalam Korsup KPK yang dirilis oleh PWYP Indonesia hadir untuk merangkum perjalanan reformasi tata kelola pertambangan batubara yang diinisiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Kordinasi dan Superivisi Sektor Mineral dan Batubara (Korsup Minerba) yang dimulai sejak 2014-2017.

Laporan ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan terhadap aspek penertiban izin khususnya untuk skema Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara sekaligus capaiannya. Terdapat sejumlah temuan penting dari laporan ini yang bertujuan untuk mengurai benang kusut tata kelola minerba sejak tahun 1999-2009. Berikut adalah sejumlah temuan penting yang disarikan dalam laporan ini.

  • Booming perizinan minerba terjadi akibat tidak sinkronnya kebijakan pada masa transisi peralihan dari era sentralisme menuju otonomi daerah (desentralisasi). Hal itu mengakibatkan angka perizinan yang tidak terkontrol. Akibatnya jumlah izin meningkat tajam, dari hanya 750 izin di 2001 menjadi sekitar 10 ribu lebih di 2010, di mana sebanyak 40% diantaranya adalah IUP batubara dengan total luasan mencapai 16,2 juta hektar (Ditjen Minerba, 2013). Sedangkan luasan untuk rezim izin PKP2B luasannya sekitar 1,95 juta hektar (Ditjen Planologi, 2014).
  • Upaya pemerintah pusat menghimpun data IUP tambang pasca-booming izin guna disesuaikan dengan rezim UU Nomor 4/2009 Minerba salah satunya dilakukan melalui mekanisme rekonsiliasi di tahun 2011 dengan mengkategorikan izin menjadi Clean and Clear (CnC) dan non-Clean and Clear (non-CnC). Namun, proses yang tidak berjalan dengan baik mengkibatkan rekonsiliasi juga belum berhasil menghimpun data yang valid. Penolakan oleh sejumlah daerah terjadi karena terdapat anggapan bahwa payung hukum dalam menentukan CnC dan non-CnC belum jelas.
  • Korsup Minerba mendorong proses penertiban perizinan yang diarahkan pada pencabutan/pengakhiran izin yang berstatus non-CnC. Korsup juga mempelopori dilakukanya verifikasi (overlay) antara izin tambang dengan kawasan hutan, sehingga penertiban izin juga diarahkan pada pencabutan atau penciutan izin yang berada di kawasan hutan konservasi, dan hutan lindung yang tidak beroperasi secara bawah tanah (underground mining)-mandat UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.
  • Korsup Minerba KPK merekomendasikan adanya payung hukum terkait penertiban izin yang ditindaklanjuti dengan hadirnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 43/2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penertiban IUP di penghujung tahun 2015 dan menjadi acuan terhadap proses penataan IUP hingga 2017.
  • Sejak 2014 hingga April 2017, tercatat sebanyak 776 izin tambang batubara dicabut/diakhirkan oleh Kepala Daerah yang berwenang, (Bupati dan Gubernur), diketahui izin yang dicabut mayoritas yang berstatus non-CnC dan masih dalam tahapan eksplorasi.
  • Luasan IUP batubara yang dicabut dan diakhirkan mencapai sekitar 3,56 juta hektar. Sehingga total luas IUP batubara setelah adanya Korsup Minerba KPK mencapai sekitar 12,6 juta hektar (berdasarkan data per-30 Januari 2017).
  • IUP Batubara yang tersisa hingga April 2017 mencapai 2966 IUP, di mana sebanyak 52% atau 1561 IUP diketahui telah habis masa berlakunya pada Desember 2016. Untuk sisanya, yakni sebanyak 1405 IUP, SK izinnya masih aktif, namun sebanyak 217 izin masih berstatus IUP non-CnC. Pemerintah daerah harus segera menindaklanjuti penertiban izin-izin tersebut.
  • Untuk penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan, 102 ribu hektar konsesi batubara jenis PKP2B terdapat di hutan konservasi. Sementara yang berada di hutan lindung mencapai 123,8 ribu hektar. Sedangkan untuk konsesi jenis IUP, terdapat 194,8 ribu hektar di kawasan hutan konservasi dan 519,8 ribu hektar di kawasa hutan lindung. Sehingga, izin/konsesi batubara yang masih ada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung luasannya hampir mencapai 940,4 ribu hektar atau 15 % dari seluruh luasan konsesi minerba di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
  • Secara kewilayahan, sebaran konsesi batubara yang berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung di seluruh Indonesia sebagian besar berada di wilayah Papua, Kalimantan Timur, Papua Barat, dan Aceh.

Rekomendasi PWYP Indonesia atas temuan-temuan di atas:

  1. Segera mempercepat tindak lanjut penertiban bagi konsesi batubara yang masih bermasalah, baik secara administratif, kewilayahan, permasalahan pengajuan PMA, berakhir masa berlakunya, berstatus Non-Clear and Clean, serta konsesi yang berada di hutan konservasi dan hutan lindung. Pemerintah harus bersikap tegas dan konsisten melakukan pencabutan/pengakhiran, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Izin yang telah dicabut dikembalikan kepada Wilayah Pencadangan Negara (WPN) untuk dibuat regulasinya.
  2. Membangun dan mengembangkan sistem database perizinan pertambangan yang singkron dan terintegrasi antara Pusat-Daerah. Database tersebut berisikan informasi konsesi izin/kontrak pertambangan terupdate di seluruh Indonesia, yang menjadi platform database bersama dan dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan terkait perizinan/kontrak batubara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Platform yang terintegrasi ini senantiasa diupdate, direkonsiliasi, dan diverifikasi setiap waktu dan secara berkala, sehingga informasi di dalamnya selalu valid dan update.
  3. Mempercepat penyelesaian platform satu peta di Kementerian ESDM (ESDM One Map) yang bertujuan untuk melakukan singkronisasi data peta koordinat konsesi izin/kontrak yang telah ada, mendukung monitoring kegiatan pertambangan dan analisa kinerja berbasis spasial di sektor ESDM, serta mencegah adanya kesalahan (spasial) serupa seperti persoalan tumpang tindih di masa mendatang.
  4. Mempercepat pengembangan sistem penerimaan negara secara online dan terintegrasi dengan database dan layanan lainnya seperti database perusahaan, data spasial, data rencana produksi dan anggaran (RKAB), ijin ekspor terbatas (ET), data surveyor, maupun kesyahbandaran dan bea cukai serta Indonesia National Single Window (INSW). Sistem tersebut satu sama lain saling terhubung, saling mensyaratkan, serta terpadu dan menjadi acuan dalam melakukan monitoring dan pengawasan kepatuhan kewajiban fiskal pelaku usaha.
  5. Mendorong pengembangan analisis kepemilikan sesungguhnya (beneficial ownership) dari pelaku usaha batubara, serta mengembangkan sanski berupa sistem black list bagi perusahaan yang terindikasi tidak patuh dan melakukan pelanggaran. Upaya ini bisa ditempuh dengan melakukan koordinasi secara intens antara Ditjen Minerba-ESDM dengan Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM terkait legal register perusahaan batubara.

Bagikan