Project “Sedulur Kendeng: Voicing for Life!” dilaksanakan atas kerja sama dan dukungan dari Voice-Hivos bermitra dengan LBH Semarang, JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng), dan berbagai jaringan masyarakat, ahli dan tokoh pendukung perjuangan masyarakat kendeng (Sedulur Kendeng). Project ini bertujuan untuk memastikan pemenuhan hak-hak masyarakat adat Sedulur Sikep atas akses sumber daya produktif seperti lahan, air, lingkungan dan sumber daya alam lainnya di sekitar pegunungan Kendeng Utara sebagai sumber mata pencaharian kehidupan mereka.

Program ini menawarkan dua pendekatan utama: (1) advokasi kebijakan berbasis fakta/data (evidence) melalui dialog multi-pemangku kepentingan, dalam mendorong kebijakan tata ruang wilayah dan perencanaan pembangunan daerah yang mengakomodasi kearifan lokal dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan; (2) Peningkatan dan pengembangan kapasitas masyarakat adat dan perempuan agar mampu dan berdaya dalam memperjuangkan hak-haknya melalui advokasi dan monitoring kebijakan.

Pendekatan ini sangat penting mengingat bahwa ekspansi industri ekstraktif pertambangan (karst) dan semen saat ini dilegalkan di bawah berbagai kebijakan dan celah otoritas dan kewenangan (diskresi) terutama di tingkat provinsi, dengan kecenderungan yang mengabaikan hak-hak masyarakat. Sementara, kapasitas dan daya tawar masyarakat cenderung dilemahkan, padahal kearifan lokal masyarakat adat dan perempuan dalam menjaga “ibu bumi” dipercaya dan terbukti turun temurun telah menjaga alam dari kerusakan dan malapetaka.

Program ini menekankan pada metode kolaboratif untuk mencapai tujuannya. Hal ini dilakukan dengan upaya pelibatan masyarakat adat dan perempuan untuk aktif berpartisipasi dan mengawasi proses pembuatan kebijakan daerah yang berpotensi mengancam ekosistem wilayah pegunungan Kendeng, yang dipercaya memiliki cekungan air tanah (CAT) sebagai sumber mata air yang menopang kesuburan lahan pertanian, sebagai tumpuan mata pencaharian dan sumber penghidupan sehari-hari mereka sepanjang masa. Partisipasi masyarakat akan difasilitasi melalui pembentukan Multi Stakeholder Forum (MSF) yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan kunci, masyarakat dan komunitas, pembuat kebijakan, akademisi dan bahkan pelaku ekonomi dan pembangunan lainnya.

Sejalan dengan hal tersebut, program ini memfasilitasi upaya pengembangan kapasitas dan pengetahuan bagi masyarakat adat dan perempuan, khususnya dalam advokasi dan monitoring kebijakan. Demikian halnya dengan pengelolaan pengetahuan dan sharing pengalaman dikembangkan melalui pendokumentasian cerita, publikasi foto dan kampanye media sosial, serta pengembangan jurnalisme warga. Corak dan ragam kreatifitas seni juga terbuka untuk dikembangkan melalui festival budaya, pentas seni, pembuatan film dan lain sebagainya.

Outcome

Outcome yang diharapkan dari project ini adalah lahirnya kebijakan yang mengadopsi karifan lokal dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, untuk melindungi pegunungan Kendeng sebagai ‘ibu bumi’, rumah masyarakat dan sumber mata pencaharian mereka.  Hal ini dicapai antara lain melalui keterlibatan komunitas dan pemangku kepentingan dalam advokasi kebijakan tata ruang wilayah agar sejalan dengan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) Pegunungan Kendeng; terlibat aktif dalam memberikan masukan dan mengusulkan program dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2019-2024, agar mengakomodasi kearifan lokal dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan; mendorong keterbukaan penatakelolaan izin dan mendukung adanya moratorium izin pertambangan baru di sekitar kawasan Pegunungan Kendeng; serta melakukan monitoring dan audit lingkungan oleh masyarakat.

Selain dari sisi kebijakan, project ini juga memiliki outcome berupa peningkatan kapasitas masyarakat, terutama perempuan dan masyarakat adat Sedulur Sikep (sebagai bagian dari Samin) dalam menyuarakan dan mengadvokasi kepentingan dan hak-hak mereka atas akses terhadap sumberdaya produktif  di sekitar kawasan Pegunungan Kendeng, melalui keterlibatan aktif dan kritis dalam pembuatan kebijakan yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.

Sasaran dan Penerima Manfaat

Sejak satu dekade terakhir, masyarakat adat Sedulur Sikep yang tinggal di sekitar Pegunungan Kendeng telah bersatu dan mengorganisir diri dalam menolak industri pertambangan dan semen yang tumbuh menjamur. Sedulur Sikep dan masyarakat di sekitar wilayah Pegunungan Kendeng yang tergabung dalam JMPPK secara konsisten mempertahankan Pegunungan Kendeng dari ancaman eksploitasi karst yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan ekologis. Sedulur Sikep percaya bahwa Pegunungan Kendeng merupakan anugerah dan sebagai warisan yang harus dijaga. Mereka percaya bahwa ‘Ibu Bumi’ sudah memberi (wis maringi), karna itu ibu bumi harus dijaga. Jika ibu bumi disakiti (ibu bumi dilarani), maka ibu bumi yang akan mengadili/ memberi sanksi dan dampak (ibu bumi kang ngadili).

Pegunungan Kendeng menjadi kawasan bentang alam penting yang menopang kehidupan masyarakat di sejumlah Kabupaten di Jawa Tengah seperti Pati, Rembang dan Grobogan. Bahkan, mata air yang berada di Pegunungan Kendeng ini merupakan sumber air bagi 8.000 kepala keluarga dan lebih dari 4.000 hektar sawah di Sukolilo, Kabupaten Pati. Pegunungan ini juga memasok air untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian seluas 15.873,9 hektar di Sukolilo, dan 9.063,23 hektar di Kayen, Kabupaten Pati. Selain itu, 5.512 orang bergantung sumber daya hutan di pegunungan tersebut. Aktivitas pertambangan akan mengganggu ekosistem Pegunungan Kendeng yang juga menghilangkan fungsi penyerapan karbon (JMPPK dan SCA, 2013).

Sejarah perjuangan Sedulur Sikep dalam mempertahankan Pegunungan Kendeng sudah berlangsung lama, mulai dari upaya dialog, litigasi hingga penggalangan sejumlah aksi demonstrasi di daerah bahkan di depan istana negara. Aksi ini berujung pada pembatalan izin lingkungan dan izin pertambangan PT Semen Indonesia di tahun 2016.  Masyarakat juga telah mendesak Pemerintah agar melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terhadap Pegunungan Kendeng yang kemudian disetujui oleh Presiden Joko Widodo waktu itu.

Setelah jadi, rekomendasi utama dari KLHS tersebut antara lain: (1) merekomendasikan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih di Pegunungan Kendeng sebagai kawasan lindung melalui penetapan Kawasan Bentang Alam Karts (KBAK) dan bebas dari aktifitas pertambangan; (2) Merekomendasikan revisi Kebijakan, Rencana, dan Program (KRP), RTRW Kabupaten Rembang, RTRW Provinsi Jateng, dan RTRW Nasional dengan mengedepankan asas keterbukaan dan melibatkan peran serta masyarakat; (3) Merekomendasikan untuk dilakukan perbaikan RTRW Rembang agar daya dukung lingkungan tidak terlampaui. serta (4) Merekomendasikan selama proses penetapan status CAT Watuputih dan sekitarnya sebagai kawasan lindung/KBAK, dilarang melakukan kegiatan pertambangan karena akan mengganggu sistem akuifer (lapisan bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air) dan merusak daya dukung lingkungan CAT Watuputih.#