Voice, sebuah program yang memfasilitasi dana hibah untuk isu keragaman dan inklusi, menyelenggarakan “Knowledge Exchange: Infinite Influence; Right of Leading Holders” di Masaka, Uganda. Forum pembelajaran ini mengumpulkan perwakilan komunitas dari sepuluh negara anggota Voice di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia, untuk mendiskusikan secara mendalam pertanyaan seputar prinsip Berdikari.

Voice Indonesia yang diwakili oleh Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan mitranya, komunitas Sedulur Kendeng. Dimana Andri Prasetiyo, Program Manager PWYP Indonesia dan Gun Retno (pemimpin adat Sedulur Sikep) bergabung dan berbagi pengalaman mereka dalam melakukan advokasi memperjuangkan akses masyarakat kepada sumberdaya produktifnya dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Secara khusus, melalui program Voice, PWYP Indonesia bersama dengan komunitas Sedulur Kendeng memfasilitasi penyusunan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan yang mendukung konservasi Pegunungan Kendeng Utara melalui pendekatan advokasi yang berakar pada budaya lokal dan berpegang pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Perempuan masyarakat adat juga diberdayakan untuk mengklaim ruang politik mereka dan berpartisipasi penuh dalam agenda advokasi. Program ini juga menyoroti pentingnya agenda perubahan berbasis masyarakat yang sarat akan nilai pembelajaran selama kegiatan.

“Apa pentingnya kemandirian? Siapa yang berpengaruh? Bagaimana bekerjasama dengan orang lain dengan tetap mempertahankan prinsip? “

Itulah sejumlah pertanyaan yang menggerakkan diskusi mereka. Salah satu refleksi utamanya ialah bahwa kemandirian mampu membawa perubahan lebih cepat karena orisinalitasnya turut berkontribusi pada upaya percepatan mobilisasi.

Namun, sejumlah tantangan dihadapi, mulai dari level individu sampai level komunitas atau organisasi, seperti hambatan budaya, terbatasnya akses atas informasi, keberlanjutan kondisi serta marjinalisasi yang terstruktur. Di antara keuntungan dan hambatan yang dihadapi, yang memainkan peran penting disini tidak lain adalah para pemimpin dan anggota komunitasnya — sebagai pemegang hak — yang mampu mengidentifikasi masalah dan peluang serta mau bersuara.

Menurut Gun Retno, pengalaman itu sangat berharga karena memperkuat keyakinannya akan pentingnya upaya advokasi. Ia berkomitmen untuk melanjutkan proses pemberdayaan ini dalam gerakan mereka dan menerapkan apa yang ia pelajari pada gerakan Sedulur Kendeng.

Selama kegiatan, ia menekankan pentingnya pengembangan transfer antar generasi untuk memastikan bahwa gerakan tidak hanya ada tetapi juga semakin menguat. Pertukaran pembelajaran dengan komunitas dan organisasi lain tentang perjuangan mereka dalam perjuangannya masing-masing menjadi inspirasi baginya ketika ia kembali terbang sejauh 5.000 mil untuk pulang ke kampung halamannya.

PWYP Indonesia memang telah menjadi mitra strategis bagi komunitas Sedulur Sikep. Pertukaran pembelajaran selanjutnya akan memotivasi komunitas untuk terus memelihara kerjasama yang transformasional ini, dengan mendorong advokasi yang lebih kuat dan suara yang lebih solid. **