Pangkur:

Sethitik kang den tindakna // Ibu Bumi nyata wiwit ngadili // Ingkang wujud pagebluk // Kanti aran corona // Gawe goreh sedayanya dadi bingung // Wis akih ingkang pralaya // Larang pangan nguwatiri //

Ewodene tetep ana // Sing paring lilah ngkrusak Ibu Bumi // Nambang den prentah trus laju // Kroso yen banget nantang // Apa iki melu sing katut dikukut // Amung ngenteni sangat // Corona bakal mungkasi //

(Sedikit yang dilakukan Ibu Bumi, sebagai pertanda Ibu Bumi telah memulai “MENGADILI” dengan adanya wabah Corona. Kejadian itu telah membuat bingung semua kalangan. Kesulitan mendapatkan bahan pangan mengancam)

(Namun demikian masih tetap ada yang memerintahkan melakukan kegiatan pengrusakan Ibu Bumi (penambangan) dilanjutkan. Ini jelas menantang Ibu Bumi. Apakah yang seperti ini bagian yang akan ”Dibersihkan” dengan corona? Kiranya hanya tinggal menunggu waktu, corona akan mengakhiri semuanya)

Penangan pandemik covid-19 di Indonesia masih terus dilakukan seiring dengan cakupan penyebarannya yang semakin meluas tidak hanya di kota besar, namun juga di desa. Di daerah, kondisi ini turut menjadi perhatian masyarakat adat, sebagaimana yang terjadi di Kendeng, Jawa Tengah dan Cimanuk, Jawa Barat.

Di Kendeng, warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, melakukan berbagai inisiatif bersama. Hal ini ceritakan pada kegiatan diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bertajuk “Masyarakat Adat di Tengah Pandemik Covid-19” pada Minggu (17/4/20) lalu. PWYP Knowledge Forum (PKF) ini menghadirkan Gunretno, Sedulur Sikep Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), dan Asep Hermawan (Ki Maher), wakil dari Komunitas Incuputu Pangauban, Cimanuk, Jawa Barat.

Gunreto dalam kesempatannya, menceritakan kondisi masyarakat adat di Kendeng selama masa pandemik. Menurutnya, semua orang termasuk masyarakat Kendeng terkena dampak dari adanya pagebluk (wabah) ini. Namun di masa sulit tersebut, terlihat petani yang lebih siap. Gunretno menjelaskan inisiatif-inisiatif yang dilakukan dirinya bersama JMPPK dan menjadi inspirasi banyak kalangan.

Bagi Seduler Sikep, dampak covid-19 menjadikan mereka lebih bersiap dalam menjaga ketahanan pangan melalui lumbung-lumbung tani yang dimiliki, bukan hanya untuk kebutuhan Wong Samin – sebutan lain bagi Sedulur Sikep di Kendeng – namun juga untuk membantu Sedulur (saudara seperjuangan) di kota, terutama masyarakat miskin/rentan. “Saat Kendeng memasuki masa panen, kami menahan untuk menjualnya, agar bisa membantu sedulur-sedulur di kota yang terkena dampak. Belakangan, tercatat telah didistribusikan beras dengan total 9 ton.” Ungkap Gunretno.

“Kami juga berembug dengan kepada Dinas di berbagai daerah di Jawa Tengah mengenai masalah dan kontribusi apa yang dapat dilakukan oleh Sedulur Sikep untuk menjaga daulat pangan. Sebab, Wong Samin memilih tidak menutup mata terhadap masyarakat luar yang terdampak dan terancam tidak mampu memenuhi kebutuhan isi perut mereka.” Tambahnya.

Bagi Gunretno, pagebluk ini seharusnya dapat membuka mata pemerintah dan masyarakat luas betapa pentingnya profesi petani saat ini yang acap kali dipandang sebelah mata. Oleh karenanya, ia mengajak siapapun untuk menanam dan turut membangun keseimbangan alam.

Di sisi lain, Gunretno menyangkan bahwa meskipun para petani di wilayahnya sudah diedukasi untuk menjaga jarak, akan tetapi pekerja tambang semen justru masih terus melakukan operasi bahkan bekerja lembur. Hal tersebut terungkap dimana pada Rabu (22/4/20), beredar video viral saat aksi damai warga Kendeng yang bertepatan dengan Hari Bumi, tengah menyuarakan agar dihentikannya sementara aktivitas tambang. Namun, upaya tersebut justru mendapat pertentangan dari penjaga setempat. Padahal, saat itu para perempuan Kendeng ingin mengingatkan anjuran pemerintah agar membatasi aktivitas bekerja. Aksi yang dilakukan dengan protokol kesehatan tersebut juga dilakukan dalam nuansa Hari Kartini, yang jatuh pada 21 April 2020.

Sementara di Garut, Ki Maher mengatakan bahwa hingga 17 April 2020, terdapat setidaknya 7 orang yang terpapar covid-19 dan menyebabkan kepanikan di tengah warga. Lebih dari itu, dampak covid-19 tersebut juga menyebabkan sejumlah peristiwa seperti PHK masal di kota serta kasus pencurian tanaman milik warga di daerah.

Bagi Kang Asep, sapaan akrabnya, Komunitas Incuputu Pangauban melihat fenomena pandemik ini sebagai tanda bumi sedang mereformasi diri. “Jika sudah tiba waktunya, akan muncul Bera Gede, bentuk bumi mengadili kita semua. Oleh sebab itu yang menjadi fokus Incuputu kurang lebih sama dengan Kang Gun, yakni diperlukan muhasabah diri agar kita semua mampu menghormati ibu pertiwi dan tanah air untuk hidup yang sejahtera lahir batin.” Ujarnya.

PKF hasil kerjasama antara PWYP Indonesia, JMPPK, dan Institut for Ecological Study (IFESt) ini dilaksanakan dalam rangka tanggap respon Covid-19. Tercatat sebanyak lebih dari 90 peserta mengikuti dengan antusias diskusi yang berlangsung selama dua jam via Zoom dan Youtube. Pada sesi tanya jawab, salah satu peserta mengucapkan terima kasih kepada JMPPK, karena hasil bumi dari warga Kendeng telah diterima dengan baik oleh kelompok masyarakat miskin kota di Jakarta. Inisiatif tersebut yang kemudian menjadi inspirasi bagi gerakan solidaritas pangan lainnya. (WC/AA)