Nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2016 yang disampaikan Pemerintah dalam sidang Paripurna DPR, 14 Agustus 2015 lalu terlihat terlampau optimis. Pemerintah dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2016 telah menetapkan; target lifting minyak bumi sebesar 800 – 830 ribu barel perhari, lifting gas bumi sebesar 1.100 – 1.300 barel perhari setara minyak dan ICP sebesar USD. 60 – 70 perbarel. Target ini harus mampu dicapai oleh pemerintah walaupun realitasnya akan sulit jika dilihat realisasi lifting Migas yang terus menurun dan tidak mencapai target dalam lima tahun terakhir.
Berkaca pada capaian APBN-P 2015 saat ini saja, sampai semester I/2015, ekonomi baru tumbuh 4,7% (dari target 5,6% – 5,8%) dan realisasi penerimaan baru mencapai 41% dari target. Optimisme Pemerintah di Tahun 2016 sah-sah saja, namun jika memasang target yang terlampau tinggi dikhawatirkan justru akan menjadi ‘blunder’ bagi pencapaian target pembangunan, karena indikator makro tersebut otomatis akan mempengaruhi perhitungan pemerintah dalam APBN, seperti subsidi energi dan belanja-belanja lainnya yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia saat ini menghadapi situasi sulit sebagai dampak dari melemahnya perekonomian global. Rencana penurunan suku bunga dari The Fed Fund Rate, penurunan harga minyak yang mencapai titik terendah, serta melemahnya mata uang rupiah, menjadikan beban fiskal Pemerintah menjadi semakin berat. Situasi tersebut secara ekonomi didukung oleh melemahnya kinerja investasi di sektor migas dan tambang, serta kinerja produksi migas yang juga cukup berat untuk dicapai oleh sumur sumur minyak di dalam negeri saat ini. “Untuk itu, Pemerintah harus benar-benar penuh perhatian dan perhitungan dalam menetapkan indikator lifting (produksi) migas dan juga menetapkan perkiraan harga minyak mentah (ICP) sebagai acuan makro ekonomi dalam penyusunan APBN 2016 kali ini” ungkap Wiko Saputra, Peneliti Ekonomi Publish What You Pay Indonesia. “Perekonomian Indonesia saat ini membutuhkan kebijakan fiskal yang kondusif, yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, di tengah daya beli masyarakat yang turun dan iklim investasi yang lesu”imbuhnya.
Di sisi lain, ketergantungan pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada Sumberdaya Alam (SDA), khususnya komoditi tambang, sungguh memperberat tantangan gejolak ekonomi global. Hal tersebut sangat terlihat dalam situasi saat ini, dimana saat Rupiah terdepresiasi-seharusnya ekspor tergenjot naik, sehingga pendapatan negara dan neraca ekonomi stabil. Namun, apa mau dikata, karna ekspor kita masih tergantung pada komoditas sumber daya alam seperti tambang, yang notabene harganya juga anjlok, maka kita tidak bisa memanfaatkan opportunity tersebut. Ketergantungan tersebut menyebabkan kinerja ekspor juga tidak bisa tergenjot secara agregat.
Jika menilik kembali pada situasi fiskal kita saat ini, ketergantungan penerimaan negara pada sektor migas dan tambang juga masih tinggi. Sekitar 59,78% dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) masih mengandalkan migas dan tambang (APBN-P, 2014). Sedangkan penerimaan pajak, kontribusi PPh Migas mencapai 7,82% dan kontribusi PPh badan sektor pertambangan mencapai 10,57% (APBN-P, 2014).
Sehingga, kurang kondusifnya kinerja dan situasi ekonomi global dari kedua sektor ini, akan berpengaruh terhadap realisasi penerimaan negara. Situasi tersebut sudah sangat terasa di tahun 2015 ini. Realisasi penerimaan PPh Migas pada semester I/2015 hanya sebesar Rp. 31,3 triliyun, turun sebesar 39,5% dibandingkan semester yang sama tahun 2014. Pemerintah juga menurunkan target PNBP dari Migas dan pertambangan umum tahun 2015 dari Rp. 238,25 triliyun menjadi Rp. 113.03 triliyun. Situasi tersebut tentunya menimbulkan dampak bagi ketahanan fiskal kita, yang diindikasikan dengan semakin sempitnya ruang fiskal Pemerintah.
Jika dilihat dalam RAPBN 2016, pemerintah menetapkan target PPh Migas sebesar Rp.48,46 triliyun dan PNBP Migas dan Minerba sebesar Rp. 125,63 triliyun. Pemerintah harus dapat memastikan bahwa target penerimaan ini bisa di capai pada tahun 2016. Sementara di sisi lain, masih belum baiknya tata kelola sektor Migas dan Minerba juga berdampak terhadap kinerja pembangunan dan penerimaan Negara. Masih ada sekitar 6 juta hektar lahan pertambangan yang berada di kawasan hutan konservasi dan lindung-yang notabene akan mengganggu stabilitas lingkungan hidup. Dan sekitar 4.276 IUP yang non CnC baik dari sisi administrasi, peruntukan lahan (yang menyebabkan tumpang tindih), kewajiban pembayaran royalty dan iuran tetap. Dari data hasil Koordinasi dan Supervisi KPK dengan Kementerian ESDM dan instansi terkait, dari 7.834 perusahaan yang di data oleh DJP, sebesar 24% tidak memiliki NPWP, serta ada sekitar 35% yang tidak melaporkan SPT.
Data-data di atas menunjukkan bahwa, masih ada persoalan dalam tata ruang dan peruntuhan lahan/hutan dalam sistem perijinan tambang, serta masih adanya persoalan ketidakpatuhan perusahaan dalam melakukan pembayaran penerimaan negara/pajak. Dari sisi belanja, terlihat fokus pemerintah saat ini adalah mengenjot belanja infrastruktur dengan total belanja sebesar Rp. 313 triliyun. Jika melihat situasi kebutuhan energi domestik kita saat ini (tabel di bahan presentasi), Pemerintah juga harus memprioritaskan dengan baik pembangunan infrastruktur energi, terutama untuk mencapai target pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt dan bauran energi untuk membangun energi terbarukan yang ramah terhadap lingkungan, ini penting untuk menciptakan ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan energi dalam negeri pada bahan bakar fosil.
PWYP memberikan beberapa catatan agar capaian pembangunan sektor Migas dan Minerba bisa tercapai untuk mewujudkan ketahanan fiskal dan energi nasional. Hal utama yang perlu dilakukan antara lain melalui : (1) Mengambil langkah-langkah strategis untuk memitigasi dampak penurunan harga minyak internasional dan depresiasi Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat terhadap pembangunan sektor Migas dan Minerba; Hal ini penting untuk memetakan persoalan – persoalan agar target yang ingin dicapai pemerintah bisa terealisasi serta stabilitas fiskal dapat terjaga (2) Pengembangan strategi diversifikasi ekonomi yang tidak bergantung pada komoditas sektor sumber daya alam; program gilirisasi baik di sektor pertambangan dan migas harus dilakukan secara konsisten, ketat dan terintegrasi dengan menyediakan faktor-faktor pendukungnya seperti kebutuhan listrik dan lainnya; (3) Menguatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola sektor migas dan pertambangan, termasuk untuk mendorong kepatuhan perusahaan dalam membayar penerimaan negara dan pajak untuk menghindari kebocoran, dan menghindari asimetri informasi dengan masyarakat dengan tetap memperhatikan perlindungan lingkungan, agar tidak menimbulkan konflik sosial bencana lingkungan hidup; bertumpu terutama terkait investasi, produksi dan program hilirisasi; (4) Segera melakukan penataan kelembagaan dan regulasi yang memberikan kepastian hukum, bukan hanya bagi pelaku industri, melainkan juga hukum yang melindungi hak-hak masyarakat.
Maryati Abdullah, Koordinator PWYP Indonesia menambahkan “ketergantungan ekonomi pada sektor sumber daya alam ibarat sebuah kutukan sumber daya (resource curse), karna komoditas SDA dipengaruhi oleh pasar global yang fluktuatif, pada saat tertentu, jika tingkat ketergantungan tidak dapat dijaga, maka fenomena Dutch Disease perlu diwaspadai. Oleh karena itu, pemerintah dapat juga memikirkan metode stabilisasi ekonomi yang memadai, model diskursus natural resource funds (NRFs) saya kira bisa menjadi pertimbangan Pemerintah untuk menghalau fluktuasi ekonomi akibat ketergantungan pada SDA tersebut. Hanya, di Indonesia perlu dicermati, apakah levelnya akan dilakukan di tingkat pusat atau di tingkat sub-nasional (daerah) yang benar-benar memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada SDA”.
Kontak: Wiko Saputra (Kepala Riset Kebijakan Ekonomi, PWYP)
Hp. 082124666788
Email: wiko@pwyp-indonesia, wikosa24@gmail.com
Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif, IESR)
Hp. 0811949759
Email: fabby@iesr.or.id