Pada (04/10), bertempat di Hotel Haris, Jakarta Selatan, koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Publish What You Pay Indonesia menyelenggarakan roundtable discussion mengenai peta masalah dan efektivitas pelaksanaan reklamasi dan pasca-tambang. Kedua permasalahan ini merupakan aspek yang krusial dalam tata kelola pertambangan di Indonesia.
“Dari tahun ke tahun, indeks kualitas tutupan lahan Indonesia mengalami penurunan. Salah satunya disebabkan oleh rendahnya pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang. Lahan akses terbuka bekas tambang di Indonesia mencapai 557 ribu hektar. Angka ini belum memasukkan lahan yang ditinggalkan PETI”, jelas Sulistyowati selaku Direktur Pemulihan Kerusakan Lahan Akses Terbuka, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam pembuka diskusi.
Sulistyowati melanjutkan, diantara penyebab rendahnya pelaksanaan reklamasi dan pascatambang adalah rendahnya nilai jaminan serta maraknya tambang illegal. Karenanya, penting untuk menyusun standar biaya jaminan reklamasi untuk kegiatan pertambangan. “Tak hanya itu, kewajiban reklamasi bagi IUP seharusnya tidak hanya mencakup area pertambangan, namun juga di luar area pertambangan. Serta, IUP juga sebaiknya melakukan konservasi minimal 20% dari area pertambangan”, tegas Sulistyowati.
Kendala serupa juga disampaikan oleh Melky Patiung, perwakilan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalimantan Utara. “Jaminan reklamasi yang rendah membuat banyak perusahaan lari dari tanggung jawab ketika tambangnya telah habis. Keberadaannya tidak jelas dan tidak dapat ditelusuri lagi. Padahal, mereka meninggalkan persoalan di lapangan.”
Sementara Aries Syafrizal, perwakilan Dinas ESDM Sumatera Selatan, menuturkan permasalahan yang lebih mendasar terkait reklamasi dan pascatambang, yakni perbedaan pemahaman antar para pihak dalam memahami reklamasi dan pascatambang. “KLHK dan ESDM memiliki aturan yang berbeda terkait reklamasi tambang. Bahkan, pemahaman antar pembuat kebijakan di ESDM saja berbeda”, tegas Aries.
Jajat Sudrajat, perwakilan Direktorat Teknik dan Lingkungan Minerba, Kementerian ESDM mengakui kendala dalam pelaksanaan reklamasi dan pascatambang, termasuk masa transisi pengalihan kewenangan pasca Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Evaluasi terus kami lakukan untuk mewujudukan tata kelola reklamasi dan pascatambang yang komprehensif. Salah satunya melalui Revisi Peraturan Menteri No 7 Tahun 2014”, jelas Jajat.
Di lain sisi, Hendra Sinadia, perwakilan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menegaskan bahwa banyak perusahaan yang sebenarnya sudah sadar akan pentingnya melakukan kewajiban reklamasi. Namun, pada praktiknya memang masih banyak perusahaan nakal yang tidak patuh dengan memanfaatkan celah regulasi.
Pembenahan regulasi diusulkan oleh Rabin Ibnu Zainal, Direktur Eksekutif Pilar Nusantara. “Dimensi regulasi dan implementasi mutlak untuk segera dibenahi. Hal ini penting untuk memunculkan efek jera sehingga dapat meminimalkan praktik pelanggaran di lapangan oleh pelaku usaha”.
Diskusi ini berhasil merumuskan rekomendasi terkait dengan permasalahan reklamasi dan pasca tambang, yakni meliputi aspek pembenahan regulasi dan penegakan hukum, koordinasi antar lembaga, serta peningkatan kapasitas lembaga baik pusat maupun daerah.