“Tindakan gubernur dalam melakukan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Non Clean and Clear (CnC) dan/atau melakukan penciutan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang tumpang tindih merupakan bentuk built in control juga sebagai pengawasan a-posteriori, yang sifatnya korektif, dan memulihkan tindakan yang keliru, serta merupakan perwujudan pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda)” demikian kata pengajar pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Ima Mayasari dalam Diskusi Ahli bertajuk “Strategi Hukum Untuk Mengatasi Hambatan Tindak Lanjut dan Rekomendasi Koordinasi dan Supervisi Sektor Minerba (Korsup Minerba)” pada (15/5) lalu di Jakarta Selatan.

PWYP Indonesia menginisiasi diskusi tersebut sebagai bentuk dukungan masyarakat sipil kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) dalam menghadapi serangkaian gugatan balik perusahaan IUP Non CnC yang dicabut.

Di Sumatera Selatan misalnya, 7 (tujuh) perusahaan pertambangan melakukan gugatan atas pencabutan IUP yang dilakukan oleh Pemprov Sumatera Selatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di Sulawesi Tengah, 6 (enam) perusahaan pertambangan melakukan gugatan terhadap Surat Keputusan (SK) Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) terkait Penciutan Wilayah Usaha Pertambangan yang tumpang tindih. Dalam putusannya, Majelis Hakim PTUN Palu menolak gugatan 2 (dua) dari 6 (enam) perusahaan dengan pertimbangan bahwa kebijakan yang dikeluarkan gubernur telah sesuai dengan amanat peraturan yang berlaku. Namun atas penerbitan SK tersebut pula, Kepala Dinas ESDM Sulteng ditetapkan sebagai tersangka atas pelanggaran Pasal 165 UU Minerba terkait penyalahgunaan kewenangan.

Padahal tindakan Pemprov tersebut merupakan tindak lanjut Koordinasi dan Supervisi (Korsup) di sektor mineral dan batubara (Minerba) yang bertujuan untuk mereformasi pengelolaan sektor minerba di Indonesia. Sekaligus bagian dari pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP Minerba, yang berakhir pada 2 Januari 2017. Berdasarkan aturan tersebut, Menteri ESDM dan Gubernur wajib melakukan pengakhiran/pencabutan terhadap IUP Non CnC maupun IUP yang berakhir masa berlakunya.

Unsur “penyalahgunaan kewenangan” menjadi dasar penetapan Kepala Dinas ESDM Sulteng sebagai tersangka tentunya dapat diperdebatkan karena kebijakan yang diambil oleh Pemprov Sulteng sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini tentunya merupakan preseden buruk bagi perbaikan tata kelola sektor minerba, khususnya terhadap tindak lanjut Korsup Minerba terkait penertiban IUP.

Atas upaya “kriminalisasi” tersebut Mayasari mengungkapkan, “Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terjemahan R. Soesilo menyebutkan barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan, tidak boleh dihukum. Sehingga, kebijakan Pemprov melakukan pencabutan IUP Non CnC merupakan tindakan menjalankan undang-undang, dan sepanjang kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangannya, maka kebijakan tersebut tidak dapat dipidana,” kata Ima.

Kepala Biro Hukum, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Widodo Sigit Pudjianto menyatakan bahwa Kemendagri telah mengirimkan surat pada tanggal 23 Januari 2017 yang ditujukan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) ditembuskan kepada Jaksa Agung, Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) dan Gubernur Sulawesi Tengah yang menegaskan kewenangan Pemprov terkait perizinan pertambangan sesuai dengan amanat UU Pemda. Selain itu, Kemendagri juga berkomitmen untuk mendukung kebijakan Pemprov, termasuk berkomitmen menjadi saksi ahli apabila dibutuhkan dalam persidangan.

La Ode Ida, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam kesempatan yang sama menyatakan, jangan sampai aparat penegak hukum justru bekerjasama dengan pihak swasta untuk melawan negara dalam konteks pengeloaan pertambangan di Indonesia. La Ode Ida menambahkan Pemerintah Daerah justru dapat berpotensi melakukan mal-administrasi apabila melakukan pembiaran terhadap IUP-IUP Non-CnC yang berada di wilayahnya.

Sejumlah rekomendasi dihasilkan dalam Diskusi Ahli tersebut, diantaranya meminta Kementerian ESDM untuk memberikan pernyataan tertulis bahwa pencabutan Penciutan WIUP tumpang tindih merupakan kebijakan evaluasi berdasarkan Permen ESDM 43/2015 dan bukan kebijakan melakukan penciutan WIUP berdasarkan permohonan pemilik IUP berdasarkan Pasal 74 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara. Meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelenggarakan high level meeting dengan pejabat tinggi APH yang menegaskan kembali bahwa Tindak Lanjut Korsup Minerba, khususnya terkait Penataan IUP seyogjanya didukung dan dikawal penuh oleh APH, bukan malah di-“kriminalisasi”. [Ary]