“Untuk melawan ancaman kutukan sumberdaya alam dibutuhkan transparansi dan akuntabilitas dalam aspek penerimaan dan tata kelola sumberdaya ekstraktif serta penggunaan Dana Bagi Hasil sektor ekstraktif untuk menanggulangi kemiskinan, terutama di daerah-daerah kaya migas, tambang dan sumber daya alam lainnya”

- Aryanto Nugroho, Pengelola Program

Besarnya penerimaan dari sumber daya alam seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraaan rakyat dan menekan ketimpangan ekonomi di Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia masih dibayang-bayangi kemiskinan (BPS, 2013). Anehnya, angka kemiskinan tertinggi didominasi oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam (SDA). Fenomena kesenjangan dan kemiskinan, kerusakan lingkungan, serta kebocoran dan korupsi dalam tata kelola sumber daya alam yang terjadi di daerah kaya sumber daya alam ini jamak disebut dengan kutukan sumber daya alam (resource curse). Transparansi penerimaan dari sektor sumber daya alam; perencanaan dan penganggaran pembangunan; strategi penanggulangan kemiskinan; dan peningkatan kapasitas bagi pemangku kepentingan, sangat dibutuhkan untuk mengatasi fenomena resource curse.

Publish What You Pay Indonesia (PWYP Indonesia) atas dukungan Ford Foundation menginisiasi program Reversing the Resources Curse (Melawan Kutukan Sumberdaya Alam). Program ini berfokus pada peningkatan transparansi dan akuntabilitas industri ekstraktif dan pengelolaan penerimaan yang diperoleh dari sumberdaya ekstraktif untuk penanggulangan kemiskinan melalui proses perencanaan dan penganggaran, perbaikan kebijakan publik dan penguatan kelembagaan, pemberdayaan dan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan, serta pengembangan resources center untuk mendukung program penanggulangan kemiskinan. Di sisi demand, program ini melakukan penguatan kesadaran hak-hak komunitas di desa sekitar tambang melalui pembentukan community center, uji akses informasi oleh komunitas, audit sosial industri ekstraktif serta monitoring program penanggulangan kemiskinan dan penggunaan dana desa bagi masyarakat.

Program ini dilakukan di empat daerah piloting, yakni kabupaten kaya sumber daya alam, penghasil migas dan pertambangan bekerja sama dengan anggota koalisi PWYP sebagai mitra program, yaitu: MATA di Kabupaten Aceh Utara, Nangroe Aceh Darusalam; FITRA Riau di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau; Bojonegoro Institute di Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur; dan SOMASI di Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Program ini memiliki 4 model pendekatan utama : (1) Penguatan stakeholder, melalui pengembangan kapasitas pemangku kepentingan, baik sisi supply yakni pemerintah_, maupun sisi demand yakni masyarakat desa sekitar tambang; (2) Transparansi dan akuntabilitas, melalui pelaksanaan undang-undang keterbukaan informasi publik dan perbaikan tata kelola industri ekstraktif; (3) Audit sosial, melalui pengembangan partisipasi masyarakat dalam memantau kegiatan ekstraktif dan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan; dan (4) inovasi kebijakan, melalui pengembangan strategi kebijakan daerah dalam penanggulangan kemiskinan, kebijakan daerah dalam mendorong alokasi penerimaan untuk program penanggulangan kemiskinan, dan inovasi usulan kebijakan daerah dalam mengalokasikan bagi hasil ekstraktif hingga ke level desa, hingga pengembangan model dana abadi sumber daya alam yang dialokasikan dari sektor ekstraktif.

Di tingkat nasional, program reversing the resource curse ini juga mendukung agenda advokasi dan kampanye publish what you pay Indonesia dalam mendorong perbaikan tata kelola industri ekstraktif secara umum, seperti dalam melakukan diseminasi dan diskusi publik untuk transparansi penerimaan dan inisiatif EITI, penelitian dan advokasi pajak berkeadilan-khususnya di sektor ekstraktif, serta perluasan upaya perbaikan tata kelola ekstraktif melalui beberapa studi baseline dan penulisan pembelajaran advokasi di daerah-daerah kaya sumber daya ekstraktif seperti di Aceh, Bengkulu, Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi tenggara, Jawa Timur, dan Papua Barat.

Berita Terkait