Liputan6.com, Jakarta – Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menyoroti kebijakan pemerintah untuk tidak menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Dia meminta agar Pemerintah tidak membebani BUMN energi, seperti PT Pertamina dengan cara meminta agar harga BBM tak naik, di tengah kenaikan harga minyak dunia.

“Perlakuan hari ini terhadap BUMN energi. Bagaimana mungkin Pertamina mendapatkan penugasan BBM satu harga semua biaya menanggung Pertamina. Hari ini, harga minyak mentah naik lebih USD 80 per barel, Pertamina tetap tidak boleh naikkan harga BBM,” ujar dia dalam diskusi di Bakoel Koffie, Jakarta, seperti ditulis Sabtu (26/5/2018).

Dia menuturkan, jika beban akibat program pemerintah terlalu banyak diletakkan kepada BUMN di sektor energi akan berdampak menggerus kemampuan keuangan perseroan.

“Kalau perlakuan terhadap BUMN migas kita seperti itu. Lalu bagaimana kebutuhan BBM masih tergantung pada energi fosil, sudah naik 2 kali lipat sementara kemampuan investasi Pertamina enggak bisa,” kata dia.

“Percuma juga Blok Mahakam jadi punya Pertamina kalau Pertamina tidak punya kemampuan untuk investasi mengelola itu,” tambah dia.

Sementara itu, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah, menyampaikan beberapa fakta terkait perkembangan sektor energi Indonesia paska reformasi 1998.

Pihaknya mencatat konsumsi energi Indonesia meningkat dua kali lipat sejak 1998. Sejak 1998, total konsumsi energi Indonesia pada 2016 meningkat lebih dari dua kali Iipat, yakni dari 84,66 MTOE menjadi 175,04 MTOE.

“Pertumbuhan konsumsi energi Indonesia rata-rata mencapai 4 persen per tahunnya. Peningkatan ini tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi Indonesia, juga didorong oleh pertumbuhan penduduk di Indonesia,” tutur dia.

Bahan bakar fosil pun masih mendominasi bauran energi Indonesia. 96 persen bauran energi Indonesia masih dikontribusikan oleh minyak, gas alam, dan batubara.

Dia menuturkan, meskipun terjadi penurunan kontribusi minyak dalam bauran energi sejak tahun 2.000, peran minyak justru digantikan oleh batu bara.

“Kontribusi batu bara dalam bauran energi primer meningkat rata-rata 1,24 persen per tahunnya. Pertumbuhan terbesar ditemukan di tahun 2015, yakni hingga 5,9 persen,” ujar dia.

Catatan lain yang harus diperhatikan pemerintah adalah konsumsi minyak nasional meningkat cukup signifikan dari tahun ke tahun. Sebaliknya tren penemuan cadangan dan produksi justru menurun.

“Dalam kurun waktu 2005 sampai 2015 tercatat rata-rata laju pertumbuhan konsumsi minyak nasional sebesar 2 persen per tahun, sayangnya penemuan cadangan dan kegiatan produksi berada pada posisi pertumbuhan negative yaitu masing-masing (-1.5 persen) dan (-2‚6 persen),” tutur dia.

Dengan asumsi tidak ada penemuan cadangan baru minyak bumi, dan laju produksi sama dengan produksi pada 2016 yaitu sebesar 881 ribu barel per hari.

Jadi cadangan minyak burni Indonesia diperkirakan habis pada 2026.

Hal ini, kata dia, merupakan peringatan dini bagi industri migas dan energi nasional untuk mulai memikirkan dan bertransisi menuju sumber-sumber energi lainnya, yang dapat menggantikan posisl komoditas minyak bumi sebagai penyumbang energi nasional.

Salah satu sumber daya alam yang dapat digenjot pengoptimalannya adalah gas bumi yang memang belum terlalu banyak dipakai.

“Cadangan dan produksi gas bumi Indonesia mengalaml fluktuasi dalam 26 tahun terakhir. Namun, tingkat konsumsi gas bumi nasional masih berada di bawah laju produksi gas bumi nasional,” ujar dia.

“Hal ini menandakan bahwa gas bumi adalah salah satu komodlti yang dapat dimanfaatkan lebih optimal lagi sebagai sumber pernenuhan kebutuhan energi nasional di masa mendatang,” tambah dia.

Sumber: Liputan6