CAPAIAN kinerja legislasi anggota dewan periode 2014-2019 sangat minim. Menurut catatan Kode Inisiatif, para wakil rakyat periode tersebut hanya menyelesaikan 22,63% dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang mereka susun sejak awal masa tugas.

“Ada kecenderungan proses legislasinya bukan berdasarkan kebutuhan dan rendah partisipasi publik,” ungkap Ketua Kode Inisiatif, Veri Junaidi, dalam diskusi bertajuk Evaluasi Kinerja dan Reformasi Parlemen, di Jakarta, kemarin.

Sebelumnya, Ketua DPR terpilih Puan Maharani mengatakan bahwa di bawah kepemimpinannya DPR tidak akan menghasilkan banyak undang-undang karena yang diutamakan adalah kualitas bukan kuantitas legislasi. Terkait hal itu, Veri pun setuju. Menurutnya, UU yang disusun harus benar-benar dibutuhkan publik dan melalui proses perencanaan yang baik.

Selain itu, sambungnya, UU yang disusun juga harus terkoneksi dengan apa yang menjadi visi-misi presiden dan wakil presiden terpilih. “Cukup tepat kalau kemudian DPR bukan hanya soal banyak-banyakan UU, tapi lebih pada bagaimana menghasilkan UU yang sangat dibutuhkan. Artinya, aturan perundangan yang dihasilkan harus punya konektivitas dengan apa yang direncanakan dalam visi-misi presiden,” tuturnya.

Menurut Veri, ada tiga indikator untuk mengukur kinerja legislasi DPR. Pertama, persentase realisasi prolegnas yang disusun. Kedua, apakah regulasi yang dilahirkan sudah mendengarkan aspirasi publik atau tidak. Ketiga, sejauh mana regulasi yang dihasilkan itu digugat ke Mahkamah Konstitusi.

“Untuk melihat apakah regulasi itu bermasalah atau tidak, indikatornya sejauh mana produk itu diuji ke MK atau tidak. Data kami menunjukkan sejak 2004 sampai sekarang, tren UU yang diuji ke MK paling banyak soal kepastian hukum,” paparnya.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Nasional Publish What You Pay

(PWYP) Indonesia Maryati Abdullah pun sepakat bahwa tidak perlu banyak UU yang direvisi dan hanya yang prioritas saja yang dilakukan revisi. “Apakah kita tidak perlu banyak lakukan revisi dan hanya prioritas, saya sepakat. Kalau enggak prioritas, ya enggak usah direvisi. Yang perlu dilakukan enggak perlu banyak UU atau UU yang ada itu bisa disatukan,” katanya.

Dalam penyusunan prolegnas, menurut dia, sebaiknya dibuka ruang bagi aspirasi publik yang seluas mungkin. Hal itu penting untuk menentukan UU mana yang perlu direvisi dan mana yang tidak perlu. Jika kemudian UU tersebut memang perlu direvisi, itu menjadi prioritas. “Jadi penentuan dasar prioritas itu mungkin prosesnya harus simultan, partisipatif, dan transparan,” tukasnya. (Nur/P-3)

Sumber: Media Indonesia