Sejumlah agenda reformasi di sektor pertambangan mineral dan batubara masih berjalan di tempat. Salah satunya adalah soal penertiban Izin Usaha Pertambangan yang berstatus non-CnC yang jumlahnya hampir 4000 IUP di seluruh Indonesia.

Desakan bagi Gubernur di 32 Provinsi penghasil tambang minerba itu disuarakan oleh Koalisi Anti Mafia Tambang yang terdiri atas sejumlah perwakilan masyarakat sipil. Pekerjaan rumah itu merupakan rekomendasi Korsup Minerba KPK. Dan Peraturan Menteri No 43/2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Peneliti Kebijakan Ekonomi, PWYP Indonesia menyatakan, berdasarkan data Ditjen Minerba, saat ini masih ada 3982 IUP Non CnC, 1,37 Juta IUP yang masuk Hutan Konservasi, 4,39 juta ha yang masuk kawasan Hutan Lindung, 1087 IUP tidak punya NPWP dan IUP yang tidak teridentifikasi. Selain itu 75% IUP tidak membayar jaminan reklamasi dan pascatambang, dan 25 T piutang pelaku usaha ke negara.

Padahal menurut Wiko, batas akhir pertama dari penertiban IUP non-CnC telah lewat jatuh temponya pada 12 Mei 2016 lalu. Menurut Wiko, Menteri ESDM sudah seharusnya dapat menggunakan kewenangan berdasarkan UU no 4/2009 tentang Pertambangan Minerba pasal 152 dalam menindak tegas IUP yang bermasalah. “Gubernur juga harusnya memperhatikan dan menindaklanjuti Permen 43/2015, untuk mencabut IUP non CnC paling lambat 12 Mei 2016,” papar Wiko, di kawasan thamrin (11/5) lalu.

Peneliti Auriga Nusantara, Syahrul Fitra menjelaskan hasil temuan penelitian di lapangan yang dilakukan di Provinsi Kalimantan Timur dan Jambi. Menurut dia, pemerintah Provinsi Jambi telah mencabut 98 IUP dengan total luasan 291.631,7 hektar dari 2014-2015, yang terdiri dari 94 IUP batubara, 3 IUP emas, dan 1 IUP tambang besi. Di Kecamatan Luar Kota, Izin operasi produksi tambang batu bara seluas 1000 ha telah dicabut oleh pemerintah Kabupaten Muaro Jambi. “Namun, diduga masih beroperasi dan melakukan pengangkutan batubara keluar dari konsesinya hingga awal April 2016,” jelas Syahrul.

Sedangkan di Kecamatan Mandiangin PT. Minemex Indonesia, IUP Operasi produksi batubara seluas 3700 hektar tidak melakukan kegiatan reklamasi tambang. “Satu lubang tambang seluas kurang lebih 90 hektar di Kecamatan Mandiangin masih terbuka, sehingga merusak lingkungan dan berbahaya bagi masyarakat yang ada di sekitarnya,” tegas Syahrul.
Hendrik Siregar, Direktur Eksekutif Jaringan Advokasi Tambang, menyambut baik statement Presiden Joko Widodo tentang rencana regulasi moratorium izin tambang. Menurutnya, moratorium sebaiknya tidak hanya dilakukan pada penerbitan izin-izin baru, namun juga penertiban izin-izin yang bermasalah.

Selain itu, Hendrik juga menyoroti permasalahan tambang di Kalimantan Timur. Jumlah korban jiwa akibat lubang tambang telah mencapai 24 orang. Menurut dia, banyaknya korba seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah untuk menertibkan Izin tambang yang konsesinya berada dekat dengan pemukiman penduduk. Terkait lubang tambang ini juga, Hendrik mendorong agar pemerintah segera menertibkan perusahaan yang tidak membayar jaminan reklamasi dan pascatambang. [Asr]