TRIBUNPONTIANAK.CO.ID,PONTIANAK – Pertambangan di Kalbar memang sedang marak. Ada trend ekspansi tambang yang massif, yaitu mencapai hampir 6 juta hektare. Nah, yang paling menonjol adalah izin pertambangan di kawasan hutan. (Baca juga: Tambang Langka di Sadaniang, Dewan Minta Izin Selektif).
Hal itulah yang dievaluasi Kementerian Kehutanan serta disuvervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Persoalan lain yang juga disuvervisi oleh KPK dan kementerian selain tambang dalam kawasan hutan adalah soal-soal teknis aturan main atau hukum dalam kegiatan pertambangan. (Baca juga: Masyarakat Sadaniang Butuh Sosialisasi yang Jelas)
Misalnya pajak, pengurusan izin, dan lain-lain. Terkait tambang, Menteri Kehutanan sudah meminta gubernur dan bupati untuk melakukan evaluasi izin ada penciutan izin. Artinya harus ada evaluasi penataan perizinan.
“Sekarang ini kewenangan perizinan sudah berada di provinsi jadi bukan lagi ke bupati. Mestinya gubernur harus lebih proaktif melakukan pengawasan dan evaluasi. Persoalan lain di Kalbar adalah tumbang tindih izin pertambangan dan izin perkebunan,” ungkap Hermawanysah, Direktur Swandiri Institute.
Lanjutnya lagi, makanya Pemprov Kalbar memberikan solusi sinkronisasi kegiatan pertambangan dan yang lain termasuk perkebunan itu tadi. “Kami sempat protes juga terkait perda itu karena cantolan hukam di atasnya tidak jelas,” tambahnya.
Di Kalbar ada juga pertambangan di kawasan hutan adat. Di Kecamatan Tayan misalnya di Desa Sejotang dan Desa Subah sekarang masyarakat mendapatkan dampak negatifnya. Beberapa waktu lalu ada perusahaan swasta yang menambang bauksit melakukan kegiatan di luar wilayah konsensi mereka.
Perusahaan tersebut mencuci biji bauksit di Danau Semenduk, Desa Sejotang. Belakangan Danau Semenduk kering, tanahnya keras dan pecah-pecah. Padahal danau itu menjadi satu di antara sumber masyarakat setempat mencari ikan.