Kekacauan dalam pemberian izin tambang telah menimbulkan beragam dampak buruk, seperti izin bermasalah, tumpang tindih pemanfaatan lahan, kerusakan lingkungan hingga penghindaran pajak.
Bagaikan pedang bermata dua, kebijakan otonomi daerah mulai 2001 telah membawa berkah, sekaligus bencana. Di satu sisi, euforia otonomi daerah yang merebak pada era reformasi tersebut telah memberi dampak positif, seperti berlomba mengembangkan potensi daerah dan meningkatkan kemandirian dalam mengelola perekonomian dan membangun daerah masing-masing.
Namun, di sisi lain, euforia otonomi daerah justru mendatangkan bencana bagi pengelolaan batu bara. Sejak pengurusan izin usaha pertambangan diserahkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah, pemberian izin menjadi mudah didapatkan. Apalagi perkembangan harga komoditas batu bara yang sedang booming pada masa itu membuat semangat pemimpin daerah mengobral izin semakin menggelora.
“Izin usaha tambang diobral. Pemda berlomba-lomba memberikan izin tambang,” kata Bambang Brodjonegoro, saat menjabat Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan pada 2012. Jumlah izin usaha pertambangan (IUP) melonjak drastis. Jika pada 2001, jumlah IUP masih 750 izin, namun pada 2009 sudah melonjak 13 kali lipat menjadi lebih dari 10 ribu izin usaha tambang.
Laporan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menjuluki periode 2001-2009, sebagai masa-masa suram di sektor pertambangan. Ini adalah masa chaos karena industri ekstraktif dikelola secara serampangan. Sektor pertambangan berkembang sangat pesat tanpa diawasi secara ketat, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi.
Dampak dari carut marut tata kelola dalam pemberian izin pertambangan ini tentu sangat besar. Bukan saja perizinan bermasalah merebak, melainkan juga soal pemanfaatan lahan yang tumpang tindih, dampak buruk bagi lingkungan lantaran banyak lubang sisa hasil tambang batu bara yang dibiarkan menganga, hingga persoalan penghindaran pajak.
Dalam konteks perizinan yang bermasalah, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menengarai pemberian IUP tersebut diikuti maraknya suap dan gratifikasi. Indikasinya sederhana, banyak perizinan yang bermasalah. Laporan hasil kajian yang dilakukan oleh tim koordinasi dan supervisi (korsup) KPK di sektor pertambangan ditemukan bahwa dari total 10.348 IUP, terdapat 3.982 IUP yang bermasalah dengan status non clean and clear (Non-CnC). Artinya, hanya 61,5 persen IUP yang layak beroperasi.
Demikian halnya dengan tumpang tindih perizinan. Merebaknya pemberian IUP batu bara yang tak sesuai prosedur menimbulkan tumpang tindih peruntukkan lahan. IUP yang diberikan oleh Pemda untuk areal tambang batu bara ternyata berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Buktinya, sebanyak 4,9 juta hektar tambang batu bara berada di kawasan hutan lindung dan 1,4 juta ha di kawasan hutan konservasi.
Kekacauan perizinan tersebut diperparah dengan banyaknya perusahaan tambang batu bara yang tidak tertib administrasi. Alamat perusahaan tidak jelas dan komitmen perusahaan yang rendah dalam mengalokasikan dana reklamasi pasca tambang merupakan contoh kasus yang banyak ditemui. KPK mencatat 90 persen perusahaan tambang tidak membayarkan kewajiban rehabilitasi lahan tambang. “Lalu ke mana perginya uang itu?” kata Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif.
Karena itu, tidak mengherankan jika dampak kerusakan lingkungan merebak akibat buruknya tata kelola tambang batu bara. Sebagai contoh di Kalimantan Timur. Di provinsi ini terdapat 264 lubang tambang batu bara yang dibiarkan menganga begitu saja tanpa direklamasi oleh perusahaan pengelola. Akibatnya, tak kurang dari 27 anak meninggal di lubang-lubang sisa tambang yang berbahaya tersebut.
Dampak buruk lain dari tata kelola tambang yang amburadul dan pengawasan yang lemah adalah kemudahan bagi pemilik perusahaan tambang menghindari pajak. Berdasarkan data KPK, dari 7.839 pemegang IUP, sebanyak 24 persen atau 1.850 tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sementara, dari total pemegang IUP yang memiliki NPWP, sebanyak 35 persen tidak melaporkan SPT atau tidak membayar pajak. Karena itu, KPK mencatat pada 2016, industri tambang memiliki piutang kepada negara sebanyak Rp 23 triliun.
Berpijak dari beragam temuan dan dampak buruk akibat kekacauan tata kelola dan perizinan tambang, kajian KPK itu memberi sejumlah rekomendasi bagi perbaikan tata kelola batu bara di Indonesia. Pertama, penertiban kawasan IUP yang bermasalah (Non-CnC), serta IUP yang berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Kedua, penertiban Peraturan Presiden tentang moratorium izin tambang agar tak ada lagi penerbitan IUP baru hingga semua IUP yang masih bermasalah telah menyelesaikan persoalannya.
Ketiga, KPK meminta pemerintah merevitalisasi dan mengembangkan database perizinan yang terintegrasi dengan kebijakan satu peta yang berlaku secara nasional dan sistem registrasi perusahaan menggunakan identitas tunggal. Keempat, KPK merekomendasikan perbaikan mekanisme perizinan sektor pertambangan mineral dan batu bara di pusat dan daerah yang terintegrasi secara nasional.
Kelima, untuk menagih piutang pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak, KPK melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah. KPK meminta Pemda mewajibkan pembuatan NPWP di daerah produksi tambang. KPK juga meminta kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan agar tidak menerbitkan surat perintah berlayar bagi IUP yang belum melunasi kewajiban keuangan.
Berdasarkan sejumlah rekomendasi KPK, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan moratorium atau penghentian sementara izin tambang. Bahkan, sepanjang 2014 hingga April 2017, tercatat sebanyak 776 izin tambang batu bara dicabut, dengan total luas 3,6 juta hektar.
IUP batu bara yang tersisa hingga April 2017 mencapai 2.966 IUP. Dari jumlah ini, sekitar 52 persennya diketahui telah habis masa berlakunya pada Desember 2016. Sisanya, yakni sebanyak 1.405 IUP izinnya masih aktif, namun sebanyak 217 izin masih berstatus IUP Non-CnC. “Terhadap IUP yang masih bermasalah, pemerintah harus segara menertibkan izin-izin tersebut,” ujar Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah.
Selain itu, Kementerian ESDM juga berupaya membenahi tumpang tindih pemanfaatan lahan dengan meluncurkan sistem peta terintegrasi yang disebut ESDM One Map. Lewat peta berupa portal ini masyarakat bisa mengakses berbagai data geospasial di sektor energi dan sumber daya mineral di Indonesia secara online.
Dalam program itu, beberapa informasi yang disajikan yaitu potensi geologi mulai dari mineral, batu bara, panas bumi, bitumen padat dan gas metana dan batu bara (Coal Bed Methane/CBM). Selain itu, terdapat juga data wilayah IUP, wilayah kerja migas dan wilayah kerja panas bumi. One Map juga memuat data kawasan hutan, dan informasi ketenagalistrikan antara lain pembangkit, gardu induk, jaringan transmisi dan jaringan distribusi.
One Map ini telah terhubung dengan Minerba One Map Indonesia (MOMI) yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batu bara. Dengan peta ini, pemerintah provinsi dan kabupaten bisa melihat izin usaha pertambangan di wilayahnya masing-masing. Sehingga pemerintah bisa menghindari tumpang tindih sesama pemegang IUP.
Dengan berbagai pembenahan tata kelola pertambangan tersebut, KPK berharap sumber daya alam Indonesia bisa dikelola dengan jauh lebih baik. Ini mengingat Indonesia merupakan lima produsen batu bara terbesar di dunia, dengan rata-rata produksi 440 juta ton per tahun dengan cadangan terbukti mencapai 13,3 miliar ton.
Sumber: Kata Data