JAKARTA. Publish What You Pay Indonesia (PWYP) yang merupakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif yang beranggotakan 38 Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mengungkapkan, sebanyak 27 dari 108 perusahaan mineral dan batubara (minerba) belum menyampaikan data pembayaran perusahaan untuk melengkapi laporan EITI (Extractive Industry Transparency Initiative) tahun 2012-2013.
Di sisi lain terdapat 11 dari 174 perusahaan di sektor minyak dan gas (migas) yang juga belum melengkapi laporan EITI. Sejumlah perusahaan tambang dan migas yang belum lapor EITI berpotensi menjadi preseden buruk bagi transparansi dan tata kelola industri esktraktif di Indonesia.
Maryati Abdullah, Koordinator PWYP Indonesia, menyayangkan sikap perusahaan yang tidak mengirimkan laporan EITI di tengah upaya pemerintah untuk mengembalikan status keanggotan EITI Indonesia yang tertahan (suspended).
Status suspended ini berlaku sejak 26 Februari 2015 karena Indonesia terlambat mengeluarkan laporan EITI periode 2012-2013. “Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen dan keseriusan perusahaan-perusahaan tersebut untuk berlaku transparan sekaligus tidak mendukung upaya pemerintahan Jokowi dalam melakukan perbaikan transparansi dan akuntabilitas untuk industri ekstraktif di Indonesia,” ungkap Maryati dalam keterangan tertulis, Selasa (29/9).
Adapun perusahaan minerba yang belum melapor terdiri dari 1 perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK), 9 Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral, 2 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan 15 IUP batubara. Yenni Soetjipto, Perwakilan Masyarakat Sipil dalam Tim Pelaksana EITI Indonesia, mendesak pemerintah untuk bersikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang enggan lapor EITI.
“Keengganan perusahaan untuk lapor EITI seharusnya menjadi alat evaluasi pemerintah terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan ini. Apalagi pelaksanaan EITI Indonesia merupakan salah satu aksi yang diamanatkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, sehingga keengganan perusahaan melapor EITI bisa diartikan perlawanan terhadap upaya gerakan anti korupsi,” tambah Sekjen FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) tersebut.
Yenni menambahkan, ke-38 perusahaan yang belum melaporkan diharapkan dapat segera mengirimkan laporan paling lambat pada tanggal 5 Oktober mendatang. “Nantinya kami mempertimbangkan dalam forum tim pelaksana, konsekuensi atas mereka –perusahaan- yang tidak melapor. Jika memungkinkan kami berharap adanya sanksi untuk yang tidak melapor seperti di-announce ke media massa dan ditindaklanjuti laporannya ke menteri dan pemda terkait,” tegas Yenni.
Seperti diketahui, EITI merupakan standar internasional dalam pelaporan penerimaan negara dari industri ekstraktif yang prosesnya melibatkan multipihak yang terdiri atas pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil dan telah diterapkan di 46 negara. Pelaksanaan EITI di Indonesia berdasarkan pada Peraturan Presiden No. 26 tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif.
Pemilihan perusahaan-perusahaan ekstraktif yang tercakup dalam laporan EITI dibuat berdasarkan besaran total yang disumbangkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut terhadap total penerimaan negara yang berasal dari sektor ekstraktif. Untuk sektor migas, seluruh perusahaan yang telah berproduksi masuk dalam cakupan laporan ini.
Sedangkan untuk sektor minerba, perusahaan-perusahaan yang masuk dalam cakupan laporan ini adalah kombinasi dari perusahaan-perusahaan yang telah menyumbang 80% dari penerimaan pajak penghasilan badan dari sektor minerba dan membayar royalti ke negara dengan besaran di atas Rp 25 miliar (dimana perusahaan-perusahaan tersebut menyumbang sebesar 81,67% dan 84,65% atas penerimaan negara dari royalti di tahun 2012 dan 2013).
Di sisi lain, proses penyusunan laporan EITI tahun 2012-2013 yang saat ini masih disusun oleh Administrator Independent (AI) perlu mendapatkan pengawalan yang ketat. Terutama dalam memenuhi standar EITI 2013 sebagai acuan penyusunan laporan EITI.
EITI Standar 2013 mensyaratkan penambahan informasi kontekstual dalam laporan EITI, agar lebih komprehensif dan bermanfaat bagi masyarakat dalam memahami industri ekstraktif di Indonesia berikut hasil rekonsiliasi yang disediakan.