REVISI UU perubahan ketiga atas UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) menimbulkan pertanyaan tentang komitmen global transisi energi Pemerintah Indonesia. Pembagian konsesi tambang untuk organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, UMKM hingga perguruan tinggi merupakan bentuk suap kepada masyarakat.
Hal ini disuarakan sejumlah organisasi masyarakat sipil menanggapi rapat Badan legislatif (Baleg) DPR RI yang membahas revisi UU Minerba kemarin. Oligarki pertambangan dinilai akan kembali membajak regulasi melalui pengusulan revisi ketiga UU Minerba Nomor 4 tahun 2009 dengan dalih pembagian konsesi batu bara ke organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, UMKM hingga Perguruan Tinggi.
Bagi-bagi konsesi tambang bukan saja memperluas daya rusak industri ekstraktif, melainkan juga bertolak belakang dengan komitmen global transisi energi pemerintah Indonesia.
“Secara substansi, pembagian konsesi ini merupakan bentuk ‘suap tambang pada berbagai bagian masyarakat. Ini adalah kooptasi negara kepada masyarakat yang berpotensi memecah-belah. Hal ini juga berbanding terbalik dengan komitmen negara untuk transisi energi berkeadilan,” tegas Zaenal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Selasa (21/1).
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Raden Rafiq, mengatakan revisi UU Minerba akan memperparah situasi di Kalimantan Selatan. Masyarakat di wilayah tersebut tengah berjuang melawan eksploitasi tambang batu bara.
“Namun pembagian izin akan melebarkan konflik horizontal yang membenturkan masyarakat dengan ormas keagamaan,” ujar Raden Rafiq.
Senada, Mareta Sari dari Jatam Kalimantan Timur mengatakan pemberian izin akan membenturkan masyarakat dengan ormas agama, padahal pihaknya tengah mendorong pemerintah untuk tidak mengembangkan tambang.
“Bahkan Muhammadiyah Kalsel malah menolak tapi diabaikan. Pembagian izin akan menyebabkan daya rusak yang luar biasa,” ujarnya.
Revisi ini dilakukan untuk memberikan cantolan kekuatan terhadap PP 25/2024, yang ditujukan mempercepat pembongkaran bukan hanya batu bara, melainkan juga mineral kritis di Indonesia timur. Pelibatan perguruan tinggi juga berpotensi menggeser peranan mereka untuk justru menggunakan kepakaran mereka untuk keuntungan dan mengakselerasi perusakan lingkungan.
“Kita menduga bahwa perubahan UU Minerba ini dilakukan untuk memfasilitasi PP Nomor 25 Tahun 2024 yang menawarkan izin tambang pada ormas keagamaan. PP ini dikritik dan digugat karena bertentangan dengan Undang-Undang. Ketimbang mencabut PP tersebut, pemerintah
nampaknya memilih meralat Undang-Undang untuk melancarkan kepentingan mereka.” ujar Aryanto Nugroho, juru bicara #BersihkanIndonesia dari Publish What You Pay (PWYP).
“Pembagian izin juga diperluas untuk koperasi, UMKM, dan kampus, yang akan berujung pada kesemrawutan proses seleksi izin tambang. Tidak masuk akal juga jika perguruan tinggi mendapat prioritas. Bagian mana dari Tri Dharma pendidikan yang memberi mandat mereka untuk berbisnis? Seharusnya mereka berfokus pada penelitian dan pengembangan SDM untuk transisi energi atau hilirisasi,” pungkas Aryanto. (DY/J-3)
Sumber: Media Indonesia