“Jangan sampai permohonan peningkatan produksi ini memperkuat dugaan pemerintah lemah terhadap intervensi dari perusahaan dan pelaku usaha,” kata Publish What You Pay Indonesia (PWYP) Agung Budiyono.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menggenjot produksi batubara hingga 15,7%. Hal ini bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang mengamanatkan pembatasan produksi batubara.

Permintaan peningkatan produksi batubara itu tertuang dalam surat Kementerian ESDM kepada Kementerian PPN/Bappenas yang salinannya diperoleh Katadata. Surat bertanggal 19 Mei 2017 itu menyebutkan rencana Kementerian ESDM meningkatkan produksi batubara tahun ini menjadi 477,91 juta ton dari sebelumnya yang tertuang dalam RPJMN tahun 2015 hingga 2019 yakni 413 juta ton.

Dari target 477,91 juta itu, sebesar 340,81 juta ton berasal dari produksi PKP2B, IUP BUMN dan IUP PMA. Sedangkan sisanya produksi batubara dari IUP daerah.

Keinginan meningkatkan produksi ini seiring dengan telah dilaksanakannya pembahasan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) antara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM dan investor. Mereka di antaranya adalah pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan BUMN, dan Izin Usaha Pertambangan Penanaman Modal Asing.

Salah satu pertimbangan meningkatkan produksi itu adalah kemampuan berproduksi masing-masing perusahaan. Namun hal tersebut mendapat sorotan beberapa pihak, termasuk Peneliti Tata Kelola Batubara dari Publish What You Pay Indonesia (PWYP) Agung Budiyono.

Agung curiga rencana pemerintah menaikkan produksi batubara disebabkan oleh desakan pelaku usaha. “Jangan sampai permohonan peningkatan produksi ini memperkuat dugaan pemerintah lemah terhadap intervensi dari perusahaan dan pelaku usaha,” kata dia kepada Katadata, Senin (17/7).

Para investor ini diduga menginginkan kenaikan produksi untuk mengkompensasi turunnya keuntungan selama beberapa tahun terakhir. Penyebabnya turunnya keuntungan investor adalah harga batu bara yang juga melorot.

Menurut Agung, pemerintah seharusnya konsisten terhadap kebijakan dan rencana yang telah dibikin. Mereka bisa menyusun strategi khusus untuk mengatur Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Petambangan (IUP) di provinsi agar patuh melakukan pembatasan pruduksi, sehingga pembatasan produksi batubara tetap sesuai dengan RPJMN dan RUEN.

Ada dua hal penting agar kebijakan pembatasan produksi batubara bisa berjalan. Pertama, perlu keseriusan dalam mengubah paradigma pengelolaan energi, yaitu tidak lagi bergantung pada penggunaan energi fosil seperti batubara secara masif.

Kedua, kemauan politik yang kuat dalam menjalankan kebijakan. “Kalau political will sudah kuat, seharusnya tidak lagi ada ruang kompromi dari para kelompok kepentingan lain,” kata dia.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional Merah Johansyah Ismail juga mengkritisi rencana pemerintah menaikkan produksi batubara itu. “Jangan sampai RPJMN dan RUEN hanya sekedar jadi dokumen saja namun jauh dari implementasi, dan pembatasan batubara hanya menjadi mimpi,” kata Merah berdasarkan siaran resminya yang diterima Katadata, Senin (17/7).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum merespon mengenai hal tersebut. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja sama Kementerian ESDM Sujatmiko belum merespon Whatsapp yang disampaikan Katadata, Senin (17/7).