Siaran Pers

No: 155/Ex-J/PR/Koord/I/2018

Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak pemerintah untuk berikan sanksi tegas terhadap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang belum menempatkan jaminan reklamasi (jamrek) dan jaminan pascatambang. Hal tersebut dikarenakan tingkat kepatuhan penempatan dana jamrek dan jaminan pascatambang pemegang IUP masih sangat rendah.

Hingga awal tahun 2018, persentase pemegang IUP yang menempatkan dana tersebut hanya 50% dari total keseluruhan IUP yang ada atau hampir 5000 IUP yang tetap beroperasi tanpa memenuhi kewajiban mereka. Mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Reklamasi dan Pascatambang, penempatan Jamrek dan Jaminan Pascatambang merupakan prasyarat wajib yang harus dipenuhi sejak awal, baik IUP yang berstatus eksplorasi maupun IUP yang telah memasuki fase operasi produksi.

Persoalan ini menunjukkan tata kelola pertambangan  Indonesia masih dibayangi masalah yang serius. Manajer Advokasi & Jaringan PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho mengungkapkan, beroperasinya IUP yang tidak menempatkan jamrek dan jaminan pascatambang adalah bukti nyata dari sistem pengawasan yang tidak berjalan dengan baik. “Perusahaan yang secara prosedur  menyalahi regulasi dan standar kegiatan pertambangan masih saja dibiarkan leluasa menjalankan kegiatan operasinya. Hal ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi” tegas Aryanto.

Carolus Tuah, Koordinator POKJA 30 Samarinda mengungkapkan, implikasi buruk ketidapatuhan IUP terkait kewajiban reklamasi dan pascatambang tampak nyata di berbagai daerah. “Di Samarinda misalnya, 32 IUP meninggalkan 232 lubang tambang menganga tanpa dilakukan reklamasi. Sepanjang 2012 hingga 2017, tercatat 28 nyawa anak yang terenggut di lubang tambang yang dimiliki oleh 17 IUP di Kalimantan Timur.”

Carolus Tuah, yang juga anggota Badan Pengarah PWYP Indonesia menyampaikan, “Penegakan hukum tidak terjadi karena Pemerintah seolah tidak bernyali untuk menagih janji reklamasi dan pascatambang. Apa makna pembinaan terhadap IUP? Kini yang terjadi justru pembiaran terhadap kejahatan lingkungan?” jelas Carolus Tuah. PWYP Indonesia mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah segera mencabut IUP yang belum menempatkan  jaminan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan kewenangannya. Hal ini mengingat upaya penertiban kewajiban IUP yang sudah dilaksanakan, tak kunjung mendapatkan hasil yang memuaskan.

Terhitung sejak tahun 2015 hingga 2017, Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara (Minerba) telah memberikan 3 (tiga) kali surat peringatan. Bahkan, pada bulan Juni tahun 2017 Dirjen Minerba telah menerbitkan Surat Edaran (SE) nomor 1187/30/DJB/2017 perihal Sanksi Penghentian Sementara, untuk meningkatkan kepatuhan pelaku usaha pertambangan, namun upaya ini tidak cukup efektif. Data Kementerian ESDM per awal 2018 menunjukkan bahwa persentase pelaksanaan kewajiban jaminan reklamasi dan pascatambang hanya naik sebesar 2% dibandingkan periode September 2017.

“Secara administratif, pencabutan IUP merupakan langkah yang harus segera diambil upaya melakukan penertiban. Harus digarisbawahi, langkah pencabutan IUP ini tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP dalam melaksanakan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Kementerian ESDM dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) harus melakukan pengawasan dan memastikan Pemerintah Daerah benar-benar mencabut IUP yang tidak menempatkan jamrek dan pascatambang serta menyiapkan sanksi bagi Kepala Daerah yang tidak menjalankannya,” terang Aryanto.

Aryanto menambahkan,”Pemerintah harus menggunakan instrumen pidana, baik yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba maupun UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkugan Hidup (PPPLH), terhadap seluruh perusahaan baik KK & PKP2B maupun pemegang IUP yang terbukti tidak patuh terhadap kewajiban reklamasi & pascatambang yang menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang signifikan dan menyebabkan hilangnya nyawa.”

“Selain itu, KPK, Kapolri dan Jaksa Agung harus memprioritaskan dan memastikan penyelesaian kasus pidana maupun korupsi yang dilakukan korporasi sektor pertambangan, termasuk menggunakan instrumen Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi” tegas Aryanto.

PWYP Indonesia   mendorong pemerintah untuk membuka data ke publik, seluruh daftar nama-nama perusahaan yang tidak patuh menempatkan dana jamrek dan jaminan pascatambang. Pemerintah juga harus memberlakukan sekaligus mengumumkan black-list kepada korporasi pelaku kejahatan pertambangan termasuk pemilik sesungguhnya (beneficial ownership) serta memastikan perusahaan maupun pemiliknya tidak mendapatkan layanan publik.

Pemerintah perlu membangun dan mengembangkan mekanisme penanganan pengaduan masyarakat yang efektif, responsif dan terintegrasi. Keberadaan mekanisme penangangan pengaduan yang jelas dan berkelanjutan, memungkinkan masyarakat memberikan informasi faktual dan masukan dari lapangan terkait kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan reklamasi dan pascatambang.

Pemerintah juga harus berfokus pada kesiapan sumber daya manusia pengawasan terutama dalam hal jumlah Inspektur Tambang (IT) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Data Kementerian ESDM (25 Januari 2017) menunjukkan, ketersediaan inspektur tambang masih belum ideal karena hanya terdapat 949 personil (termasuk yang belum mengikuti diklat)  untuk melakukan pengawasan ribuan pemegang IUP di seluruh Indonesia. Belum lagi, dengan jumlah PPNS Minerba yang hanya berjumlah 34 orang tanpa adanya dukungan kelembagaan, sarana prasarana dan anggaran yang memadai. PWYP Indonesia mendorong Kementerian ESDM untuk membentuk unit penegakan hukum (gakum) dengan dukungan yang memadai untuk mengefektifkan pengawasan di sektor minerba.


Contact Person:

Aryanto Nugroho (aryanto@pwyp-indonesia.org)

Carolus Tuah (carolus_tuah@yahoo.com)