Jakarta – Keputusan Presiden Jokowi untuk membatalkan rencana pencabutan peraturan kewajiban‎ Domestic Market Obligation (DMO) batubara setidaknya meredam kegaduhan publik dalam sepekan terakhir ini. Kegaduhan ini dipicu oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang menyatakan Pemerintah akan mencabut kebijakan kewajiban DMO bagi pelaku industri batubara.

Menurut LBP, bukan hanya kewajiban pemenuhan kuota 25% penjualan batubara ke dalam negeri yang dicabut, termasuk juga diserahkannya kembali harga DMO batu bara kepada mekanisme pasar dengan tujuan untuk menyelamatkan keuangan negara. Sebagai gantinya perusahaan batubara akan dikenakan iuran ekspor sebesar US$2-US$3 per ton yang akan dikelola oleh sebuah lembaga sebagaimana yang diterapkan pada industri kelapa sawit.

Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menilai pernyataan Presiden Jokowi hanya meredam kegaduhan sesaat akibat tekanan publik. Masih ada upaya dari para pihak untuk kembali menggulirkan isu pencabutan kebijakan DMO ini. Sebut saja misalnya, pernyataan Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang menyebut rencana pembatalan pencabutan aturan DMO masih dalam tahapan evaluasi dan belum diputuskan. Atau pun pernyataan Menko LBP yang akan terus mengkaji ulang pencabutan kebijakan DMO dan melihat peluang pelaksanaannya tahun depan.

Koalisi PWYP Indonesia mendesak Pemerintah untuk terus konsisten dengan kebijakan kewajiban DMO batubara. Selain konsisten dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Kewajiban DMO ini BUKAN semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan pasokan batubara bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) atau pun menyelamatkan keuangan PLN. Tetapi lebih besar dari itu, kebijakan kewajiban DMO batubara sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan produksi batubara yang selama puluhan tahun dieksploitasi tanpa batas. Pengendalian atau pengurangan produksi batubara sangat dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi sekaligus mempertimbangkan makin menurunnya daya dukung lingkungan, meningkatnya emisi gas rumah kaca, dan bagian dari strategi menjaga neraca sumber daya.

Beban PLN

Penghapusan harga khusus DMO batubara akan menambah beban PLN setidaknya 4,2 miliar USD atau 58 triliun rupiah. Beban ini ditimbulkan dari selisih harga khusus DMO (70 USD) dan harga batubara acuan Juli (104,65 USD). Meski sebagai gantinya pelaku usaha akan dikenakan iuran ekspor sebesar 2-3 USD, iuran ini belum bisa menutup beban PLN. Dengan menggunakan tarif maksimal dan penambahan 100 juta ton sebagaimana yang diwacanakan Menteri LBP serta mengasumsikan seluruh pelaku usaha memenuhi kewajiban keuangan ini, iuran ekspor yang dikumpulkan hanya 1,39 miliar USD atau 19,47 triliun rupiah. Sehingga PLN tetap akan terbebani sebesar 2,8 miliar USD atau 39 triliun rupiah.

Tata Kelola Industri Batubara Masih Buruk

PWYP Indonesia terus mengingatkan pemerintah untuk tidak membuat kebijakan yang justru memicu eksploitasi besar-besaran batubara di Indonesia. Alih-alih membuka lebar pintu ekspor batubara, seharusnya pemerintah fokus melakukan pembenahan terhadap tata kelola industri batubara. Mulai dari 710 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berstatus non clean and clear (Maret 2018); dan masih terdapat piutang pelaku usaha pertambangan (Batubara dan Mineral) terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang belum terselesaikan, nilainya mencapai Rp 4,5 triliun (Juli, 2018); 631.000 hektar konsesi batubara di kawasan hutan lindung dan 212.000 hektar konsesi batubara di kawasan hutan konservasi (Desember, 2016); Juga rendahnya kepatuhan pelaku usaha dalam menempatkan dana jaminan reklamasi dan pascatambang, dimana baru 60% dari total IUP minerba yang menempatkan dana jaminan reklamasi dan hanya 14% yang menempatkan dana jaminan pascatambang (Juni, 2018).

Justru, pembatalan rencana pencabutan kebijakan kewajiban DMO batubara menjadi momentum untuk meneruskan kembali evaluasi kepada pelaku industri batubara terkait kewajiban DMO. PWYP Indonesia mendorong Pemerintah untuk berani memberikan sanksi tegas bagi pelaku usaha yang gagal memenuhi kewajiban DMO-nya.

“Over Insentif” Untuk Pengusaha Batubara

Industri batubara sudah terlalu banyak mendapatkan insentif dari Pemerintah. Sepanjang tahun 2018 saja, sejumlah insentif dinikmati oleh pengusaha batubara. Pertama, kenaikan target produksi batubara di tahun 2018 sebesar 5% dari RKAB 2017, yakni sekitar 485 juta ton. Padahal, ini melanggar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang menetapkan produksi batubara sebesar 406 juta ton di tahun 2018 serta Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang memandatkan pembatasan produksi maksimal sebesar 400 juta ton di tahun 2019. Kedua, ditundanya pelaksanaan Permendag Nomor 48 Tahun 2018 Tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu yang mengatur kewajiban penggunaan asuransi nasional dalam kegiatan ekspor batubara dan minyak kelapa sawit mentah hingga 1 Februari 2019. Sebelumnya, pengusaha batubara juga menikmati penundaan kewajiban penggunaan kapal nasional dari seharusnya 1 Mei 2018 menjadi 1 Agustus 2020.

Mitos Batubara Menyelamatkan Penerimaan Negara

Menko Bidang Kemaritiman, LBP, mengungkapkan kebijakan pencabutan kewajiban DMO diperlukan untuk menyelamatkan penerimaan negara, karna akan mendapatkan tambahan penerimaan negara sebesar US$ 3,68 miliar. Namun, dibandingkan dengan data Bank Indonesia yang menunjukkan defisit neraca pembayaran selama 2018 sebesar US$ 25 Milliar, angka US$ 3,68 miliar masih sangat kecil. Kalau pemerintah ingin menaikkan penerimaan negara dari batubara, bukan dengan jalan memberi izin baru atau membuka pintu ekspor. Tata kelola industry batubara, termasuk system penerimaan negaranya yang harus diperbaiki.

Data Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia tahun 2016 menunjukkan dari ribuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral dan Batubara (Minerba) yang tercatat di Kementerian ESDM, hanya 1654 IUP yang melakukan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dari 100% penerimaan PNBP (1654 IUP), ternyata 94% diantaranya disumbang hanya oleh 112 perusahaan saja. Pertanyaannya, bagaimana bisa? Ribuan IUP Minerba yang ada di Indonesia ternyata hanya menyumbang PNBP tak lebih dari 6% saja dari total PNBP Minerba.

Konsep Mentah Pungutan Dana Batubara

Rencana pencabutan kebijakan DMO batubara diikuti dengan wacana pembentukan lembaga baru untuk mengelola iuran eskpor sebesar US$2-US$3 per ton sebagaimana yang diterapkan pada pada industri kelapa sawit. Namun, pemerintah tidak dapat menjelaskan apa tujuan dan payung hukumnya, bagaimana model kelembagaan dan mekanismenya serta siapa penerima manfaat dari iuran tersebut.

Pemerintah seharusnya berkaca pada problem tata kelola yang dihadapi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2016 atas BPDPKS menemukan 3 persoalan utama, yaitu Sistem verifikasi ekspor tidak berjalan baik; Penggunaan dana perkebunan kelapa sawit habis untuk program subsidi biofuel; dan tiga grup usaha menjadi penerima manfaat utama dana perkebunan kelapa sawit

Problem verifikasi data ekspor ditemukan pula di sektor batubara. Perbedaan data ekspor antar instansi seperti Kementerian ESDM – Kementerian Perdagangan – Bea Cukai maupun negara pengimpor batubara. Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan adanya temuan potensi kerugian negara sebesar Rp 133 triliun akibat dugaan transaksi yang tidak dilaporkan dari ekspor batubara selama periode 2006-2016 dengan melihat gap data Indonesia dengan negara importir. PWYP Indonesia juga mengkhawatirkan model lembaga pungutan batubara yang masih sangat mentah ini justru menjadi ladang bagi pemburu rente baru.