JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola sektor pertambangan masih menyisakan sejumlah persoalan. Di satu sisi, kualitas penataan oleh pemerintah kian membaik. Tahun ini, ada sekitar 2.500 izin usaha pertambangan yang dibekukan pemerintah karena tak memenuhi unsur kepatuhan. Dalam laporan berjudul ”Koordinasi dan Supervisi Pertambangan Mineral dan Batubara” yang dipublikasikan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Kamis (7/12), di Jakarta, terungkap ada wilayah izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan konservasi seluas 6,3 juta hektar.

Selain itu, terdapat tumpang-tindih antara konsesi kontrak (kontrak karya/KK) dengan perizinan tambang. Dari catatan PWYP Indonesia, ada 121 IUP yang tumpang-tindih dengan KK dan 50 IUP tumpang-tindih dengan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). ”Berdasarkan hasil koordinasi dan supervisi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditemukan ada 6.297 IUP, dari 10.584 IUP, yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sisanya tidak teridentifikasi.

Dari yang ber-NPWP itu, hanya 5.557 IUP yang melaporkan surat pemberitahuan (SPT),” kata Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia Aryanto Nugroho dalam paparannya. Aryanto mengatakan, potensi pajak dari sektor pertambangan mineral dan batubara yang tidak melaksanakan kewajibannya tersebut mencapai Rp 6 triliun per tahun. Potensi tersebut hilang lantaran pemegang IUP yang sudah berproduksi tak membayar pajak kepada pemerintah. Selain itu, diduga kuat pajak penghasilan yang dilaporkan jauh lebih kecil dari nilai sesungguhnya.

Tidak mudah

Ketua Tim Pencegahan Korupsi Sumber Daya Alam KPK Dian Patria mengatakan, penataan sektor pertambangan tidak bisa dilakukan dengan mudah. Menurut dia, KPK tidak bisa bekerja sendirian. Perlu komitmen kuat dan dukungan penuh dari instansi lain, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, termasuk pemerintah daerah. Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Heri Nurzaman mengakui, tata kelola sektor pertambangan belum sepenuhnya terlaksana.

Namun, sudah ada sejumlah kemajuan, seperti penambahan IUP yang berstatus bersih tanpa masalah (clear and clean/CNC), pemegang KK dan PKP2B yang bersedia mengamendemen kontrak, atau penyederhanaan izin sektor tambang. ”Dari 33 KK, ada 21 kontrak yang diamendemen, dua kontrak berubah menjadi IUP Khusus, dan 10 kontrak belum bersedia mengamendemen. Adapun dari 68 PKP2B, tersisa 18 perjanjian yang belum bersedia diamendemen. Target kami, seluruh pemegang KK dan PKP2B yang belum bersedia mengamendemen kontrak bisa tuntas bulan ini. Begitu pula IUP yang belum berstatus CNC,” ujar Heri.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah merekomendasikan perlunya membangun kesepahaman antarpemangku kepentingan di sektor pertambangan dalam penataan sektor tambang. Selain itu, keterbukaan di sektor ini harus disertai dengan prinsip akuntabilitas yang membawa manfaat bagi masyarakat, khususnya di sekitar lokasi tambang. Terkait IUP yang belum berstatus CNC, pemerintah telah memblokir 2.509 IUP dengan tidak memberikan pelayanan bea cukai ataupun pelayanan kesyahbandaran.

Sumber: PressReader / Kompas


Bagikan