Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) ters bergulir di parlemen. Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) mengundang beberapa pihak untuk memberi masukan terhadap RUU antara lain Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI).

Koordinator Publish What You Pay Indonesia (PWYP), Aryanto Nugroho, mengatakan pihaknya memantau berbagai regulasi yang diterbitkan pemerintah dalam mengatur sektor terkait pertambangan. Antara lain Keputusan Presiden No.1 Tahun 2022 tentang Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan Dan Penataan Investasi.

Satgas itu bertugas antara lain mengevaluasi izin tambang dan menyisir yang tidak produktif. Hasilnya, pemerintah mengklaim mencabut lebih dari 2 ribu izin, tapi yang dipublikasi kurang dari 200. Kemudian terbit Peraturan Presiden No.70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.

Aryanto mengatakan setelah dilakukan pencabutan terhadap konsesi izin tambang kemudian dialokasikan salah satunya untuk badan usaha milik organisasi kemasyarakatan (Ormas). Lalu terbit Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara.

Kemudian Perpres No.76 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 Tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi yang memberikan prioritas izin usaha pertambangan khusus (IUPK) bagi ormas keagamaan dan BUMD. Bahkan dalam Perpres 76/2024 termasuk juga perizinan untuk sektor perkebunan dan kehutanan.

Aryanto menanyakan apakah Pasal 51 RUU mengatur tentang wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), merupakan tindak lanjut dari Perpres 76/2024?. Jika tidak ada kaitannya dengan Perpres itu, tercatat sampai saat ini sudah ada lebih dari 4 ribu izin pertambangan.

Banyaknya izin yang terbit membuat pemerintah sendiri kesulitan melakukan pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Sebab jumlah inspektur tambang, pejabat pengawas dan PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) sedikit, sehingga tidak bisa menangani persoalan di lapangan.

Pemberian prioritas perizinan bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta lainnya menurut Aryanto berpotensi menambah jumlah izin pertambangan semakin banyak. Sebelum menerbitkan izin baru perlu dilakukan evaluasi lebih dulu terhadap pelaksanaan pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Jika langkah itu tidak dilakukan akan berulang lagi persoalan 10 tahun lalu dimana 90 persen pemegang izin tambang tidak membayar dana reklamasi.

“Kalau diberikan prioritas untuk UMKM, koperasi dan lain-lain ini akan berpotensi melahirkan makin banyak izin pertambangan,” kata Aryanto dalam RDPU dengan Baleg, di Komplek Gedung Parlemen, Senin (3/2/2025).

Aryanto mengusulkan moratorium izin baru terutama sektor batubara. Sebab sejak 2019 jumlah produksinya meningkat sampai 2 kali lipat dari batas yang diatur pemerintah dalam rencana umum energi nasional (RUEN). Bertambahnya jumlah perizinan akan berdampak pada menurunnya harga komoditas batubara di tingkat global. Bahkan Kementerian ESDM juga berencana untuk membatasi produksi nikel karena sudah melebihi target produksi.

Pro kontra perguruan tinggi kelola tambang

Pasal 51A RUU yang memberikan konsesi bagi perguruan tinggi menurut Aryanto pelaksanannya akan sulit. Sebab fokus kampus pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukan kegiatan usaha pertambangan. Sementara industri pertambangan butuh modal besar dan kemampuan teknis yang mumpuni.

Apalagi bisnis proses pertambangan tergolong panjang mulai dari riset, sampai pasca tambang. Belum lagi menghadapi persoalan antara lain eksplorasi yang tidak sesuai ekspektasi sehingga mandek.

Menurut Aryanto peran kampus dalam industri pertambangan selain menyiapkan sumber daya manusia yang unggul juga transfer of knowledge. Melalui cara itu kampus bisa menjual paten atau riset yang mereka miliki untuk digunakan industri tambang.

“Tugas kampus disitu, termasuk melahirkan inovasi baru,” ujarnya.

Ketua Umum Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Budi Djatmiko, intinya mendukung kampus diberikan izin konsesi pertambangan. Selama ini sudah umum di negara maju, di mana kampus ikut dalam melakukan riset di bidang industri yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA).

Budi menyebut mahasiswa kampus Harvard dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat hanya membayar seperempat uang kuliah dan sisanya ditanggung kampus. Itu bisa dilakukan karena kampus punya badan usaha.

“Kalau diberi konsesi apakah (kampus,-red) punya modal dan tim teknis? Itu gak punya, tapi yang ada ya tenaga ahli,” bebernya.

Persoalan pendidikan di Indonesia menghadapi sedikitnya 21 masalah antara lain mutu guru dan dosen rendah. Solusinya, perguruan tinggi diberi kesempatan untuk membuka sumber daya alam yang ada misalnya pertambangan. Atau wilayah tersebut punya keunggulan SDA lain seperti perikanan maka perguruan tinggi perlu membuka program studi terkait di daerah tersebut. Sehingga SDA di wilayah itu “dieksploitasi” anak-anak di wilayah setempat.

Anggota Baleg DPR dari fraksi partai Nasdem, Arif Rahman, mengingatkan jangan sampai RUU Minerba ini dianggap sebagai bentuk kooptasi negara terhadap perguruan tinggi dan ormas keagamaan karena check and balances harus ada. Apalagi mahasiswa adalah agen perubahan di setiap masa. Prinsip perguruan tinggi harus dijaga jangan sampai terkooptasi sehingga tidak kritis terhadap pemerintah.

“Ini penting bagi perguruan tinggi tidak hanya berorientasi dengan tata kelola tambang sehingga bisa mengumpulkan dana abadi (pendidikan), karena ini tidak mudah perlu modal besar, pengetahuan, dan ahli,” tegasnya.

Sumber: Hukum Online


Bagikan