86e00305-2c74-48de-937d-bc5ca4e09af1
Kiri ke kanan: Aryanto Nugroho, Fabby Tumiwa, Wiko Saputra, Berly Martawardaya (dok. PWYP Indonesia)

 

Publish What You Pay (PWYP) Indonesia memandang penetapan indikator lifting (produksi) migas dan perkiraan harga minyak mentah (ICP) sebagai acuan makroekonomi dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2016 terlampau optimis. Target lifting minyak bumi sebesar 800–830 ribu barel perhari, lifting gas bumi sebesar 1.100–1.300 barel perhari setara minyak dan ICP sebesar USD. 60–70 perbarel akan sulit terealisasi jika berkaca dari realisasi lifting Migas yang terus menurun dan tidak mencapai target dalam lima tahun terakhir.

Wiko Saputra, Peneliti Ekonomi PWYP Indonesia mengingatkan pemerintah Jokowi agar berhitung secara cermat dalam menetapkan acuan makro ekonomi. Hal itu menjadi perlu di tengah situasi sulit saat ini. Faktornya antara lain, melemahnya perekonomian global seperti rencana penurunan suku bunga dari The Fed Fund Rate, penurunan harga minyak yang mencapai titik terendah, serta melemahnya mata uang rupiah sehingga beban fiskal pemerintah menjadi semakin berat.

“Perekonomian Indonesia saat ini membutuhkan kebijakan fiskal yang kondusif, yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, di tengah daya beli masyarakat yang turun dan iklim investasi yang lesu” ungkap Wiko dalam media briefing yang dilakukan PWYP Indonesia pada (19/8) lalu.
Di sisi lain, ketergantungan ekonomi Indonesia pada sektor sumber daya alam (SDA) masih cukup tinggi. Sekitar 59,78% dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) masih mengandalkan migas dan tambang (APBN-P, 2014). Sedangkan penerimaan pajak, kontribusi PPh Migas mencapai 7,82% dan kontribusi PPh badan sektor pertambangan mencapai 10,57% (APBN-P, 2014). Sehingga, kurang kondusifnya kinerja dan situasi ekonomi global dari kedua sektor ini, akan berpengaruh terhadap realisasi penerimaan Negara.

Ketergantungan ekonomi pada sektor sumber daya alam ibarat sebuah kutukan sumber daya (resource curse), karna komoditas SDA dipengaruhi oleh pasar global yang fluktuatif. Saat ini pemerintah harus mewaspadai gejala-gejala munculnya fenomena Dutch Disease. “Setidaknya situasi saat ini bisa menggambarkan, dimana saat Rupiah terdepresiasi-seharusnya ekspor tergenjot naik. Akan tetapi, karena tergantung pada komoditas tambang yang harganya anjlok, maka kita tidak bisa memanfaatkan opportunity tersebut.” Imbuh Wiko.

Buruknya tata kelola sektor Migas dan Minerba juga berdampak terhadap kinerja pembangunan dan penerimaan Negara. Sekitar 6 juta hektar lahan pertambangan berada di kawasan hutan konservasi dan lindung-yang notabene akan mengganggu stabilitas lingkungan hidup. Dan sekitar 4.276 IUP yang non CnC baik dari sisi administrasi, peruntukan lahan (yang menyebabkan tumpang tindih), kewajiban pembayaran royalti dan iuran tetap. Dari data hasil Koordinasi dan Supervisi KPK dengan Kementerian ESDM dan instansi terkait, dari 7.834 perusahaan yang di data oleh DJP, sebesar 24% tidak memiliki NPWP, serta ada sekitar 35% yang tidak melaporkan SPT.

Terhadap RAPBN 2016 di sektor Migas dan Minerba, PWYP Indonesia berikan catatan agar pemerintah dapat mewujudkan ketahanan fiskal dan energi nasional, melalui : (1) Mitigasi dampak penurunan harga minyak internasional dan depresiasi Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat terhadap pembangunan sektor Migas dan Minerba; agar target yang ingin dicapai pemerintah bisa terealisasi serta stabilitas fiskal dapat terjaga (2) Diversifikasi ekonomi yang tidak bergantung pada komoditas sektor sumber daya alam; program hilirisasi baik di sektor pertambangan dan migas harus dilakukan secara konsisten, ketat dan terintegrasi dengan menyediakan faktor-faktor pendukungnya seperti kebutuhan listrik dan lainnya; (3) transparansi dan akuntabilitas tata kelola sektor migas dan pertambangan, termasuk untuk mendorong kepatuhan perusahaan dalam membayar penerimaan negara dan pajak untuk menghindari kebocoran, dan menghindari asimetri informasi dengan masyarakat dengan tetap memperhatikan perlindungan lingkungan, agar tidak menimbulkan konflik sosial bencana lingkungan hidup; bertumpu terutama terkait investasi, produksi dan program hilirisasi; (4) penataan kelembagaan dan regulasi yang memberikan kepastian hukum, bukan hanya bagi pelaku industri, melainkan juga hokum yang melindungi hak-hak masyarakat.

Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Berly Martawardaya, menyampaikan Pemerintah harus segera membenahi infrastruktur khususnya listrik di luar Jawa yang akan memperkuat sektor hilir dan mengurangi ketergantungan terhadap ekspor komoditas mentah. “Selain itu, Pemerintah harus mengoptimalkan sumur tua dan ekspansi sumur baru (ladang migas dan refinery), mendorong Revisi UU migas yang mendorong kesejahteraan rakyat dan terus mengembangkan renewable energy.”

Sementara itu, Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan “Tahun 2016 adalah tahun belanja infrastruktur. Pemerintah harus prioritaskan pembangunan infrastruktur energi, terutama untuk mencapai target pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt dan bauran energi untuk membangun energi terbarukan yang ramah terhadap lingkungan. Pemerintah perlu kerja keras untuk wujudkan target ambisi yang besar di tengah track record selama ini. Tapi itulah tantangan yang harus dihadapi pemerintah,” tuturnya.