Rapat tim pelaksana EITI Indonesia membahas tentang validasi EITI dan progress dari laporan EITI tahun 2016 (23/10) lalu. Rapat ini dihadiri oleh perwakilan dari asosiasi perusahaan tambang, masyarakat sipil, dan instansi pemerintah.
Saat ini EITI Indonesia memang akan divalidasi, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai dampak inisiatif EITI yang sudah berlangsung sejak masuknya Indonesia sebagai negara kandidat EITI di tahun 2010. Selain itu, validasi juga untuk mengukur sejauh mana negara anggota EITI patuh terhadap requirement standard EITI yang sudah ditetapkan. Hasil dari validasi ini, nantinya akan diketahui tingkat kepatuhan Indonesia, apakah masuk kategori beyond, memuaskan, kemajuan yang berarti, tidak memadai, atau tidak ada kemajuan.
Proses validasi EITI Indonesia akan dimulai pada 7-14 November 2018. Tim validator akan menemui berbagai pihak secara bertahap, untuk mendalami dampak EITI Indonesia dari berbagai perspektif.
Dalam ratimlak ini juga dibahas mengenai progress laporan EITI tahun 2016. Tim independen administrator dari Parker Randall menyampaikan, bahwa sampai dengan 16 Oktober 2018, dari 112 perusahaan minerba, yang sudah melapor sebanyak 62 perusahaan, 45 perusahaan dapat dihubungi, dan 5 perusahaan tidak dapat dihubungi. Sedangkan perusahaan migas, sampai dengan 22 Oktober 2018, dari 71 operator dan 107 partner yang menjadi entitas pelapor EITI, ada 9 operator migas dan 45 non operator yang belum lapor.
Adapun alasan perusahaan belum melapor, menurut Asrini, salah satu akuntan Parker and Randall, alasannya beragam. Beberapa perusahaan sudah dihubungi namun belum ada tanggapan, sedang direview oleh atasan, sedang mencari data EITI 2016, hambatan dalam penyusunan laporan karena ada pergantian jabatan internal, bahkan, sampai perusahaan yang belum terhubung. Menyiasati hal ini, tim independen administrator mengirim orang untuk mendatangi langsung kantor entitas pelapor EITI.
Selain sedang berusaha melengkapi laporan EITI 2016, Edi Effendi Tedjakusuma, Ketua Sekretariat EITI Indonesia menyampaikan usulan untuk mengurangi gap pelaporan EITI. “Saat ini masih ada gap 2 tahun untuk laporan EITI, yaitu laporan tahun 2017 dan 2018. Untuk closing the gap, laporan EITI 2017 dan 2018 langsung disusun secara bersama-sama di tahun depan,” ujar Edi.
Menanggapi hal ini, forum multi stakeholder group EITI tidak keberatan. Membuat laporan EITI secara real time akan sangat bermanfaat, karena data EITI yang digunakan untuk referensi analisis adalah data termutakhir, dan bisa digunakan oleh pemerintah daerah dalam menghitung berapa penerimaan Sumber Daya Alam di daerah mereka.
Kemudian MSG EITI pun menyinggung soal revisi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 26/2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif. Perpres inilah yang menjadi dasar adanya inisiatif EITI. Urgensi revisi perpres ini antara lain, dikarenakan adanya perubahan nomenklatur Kementerian/Lembaga pemerintah terkait, standar EITI yang dinamis, kurangnya kesadaran dari sebagian besar stakeholder EITI Indonesia, juga perlunya partisipasi pemerintah provinsi penghasil komoditi migas dan minerba dalam pelaksanaan EITI.
Menindaklanjuti upaya revisi regulasi ini, Edi Tedjakusuma menyampaikan, bahwa Biro Hukum, Persidangan, dan Hubungan Masyarakat (HPH) Kemenko Perekonomian menyarankan agar tim pelaksana perlu memutuskan kementerian mana yang akan menjadi pemrakarsa revisi perpres tersebut. Pasalnya, Kemenko Perekonomian tidak bisa menjadi pemrakarsa revisi Perpres, karena tidak mendapatkan penugasan langsung dari Presiden. Di sisi lain, menurut pandangan Sekretariat EITI, pemrakarsa revisi Perpres sebaiknya adalah Kementerian Keuangan, karena sesuai dengan judul Perpres.