OFFSHORE Indonesia – Isu mafia migas masih menjadi perhatian publik hingga saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menutup ruang gerak bagi mafia migas mulai dari perombakan pejabat di lembaga sektor migas sampai membentuk tim reformasi tata kelola migas. Usaha itu patut diapresiasi. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia memandang bahwa akar masalah dari maraknya praktek rente di sektor migas akibat payung hukum di sektor migas yang masih memiliki banyak celah. Ditambah lagi DPR yang sampai saat ini masih terus menunda pembahasan terkait revisi UU Migas.Koalisi PWYP menyusun draft revisi UU Migas alteratif versi masyarakat sipil yang dikoordinir oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) sebagai usaha untuk menutup ruang gerak bagi mafia migas. Draft revisi UU Migas versi masyarakat sipil ini menawarkan sejumlah poin diantaranya adalah perubahan model kelembagaan hulu, pemenuhan hak informasi dan akses masyarakat atas industri migas, pembentukan petroleum fund, pelibatan masyarakat dalam proses penentuan Wilayah Kerja, dan aspek perencanaan.

Nisa Istiqomah, Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menuturkan dalam draft versi masyarakat sipil ini menawarkan sejumlah poin utama perubahan. Pertama, perubahan model kelembagaan hulu migas yang memungkinkan adanya proses check and balance sekaligus menyesuaikan dengan mandat Putusan MK. Model kelembagaan ini menempatkan fungsi policy dan oversight pada pemerintah dan fungsi pengelolaan migas kepada BUMN. “Diharapkan dengan model tersebut dapat terbentuk kelembagaan yang kuat, tidak tumpang tindih dari segi kewenangan, memperkuat posisi negara dalam pengelolaan migas, serta tidak menciptakan peluang rente untuk magia migas, sehingga seluruh aspek penguasaan negara yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dapat terlaksana dengan nyata,” ujarnya.

Kedua, lanjut Nisa, salah satu poin yang didorong untuk menutup celah bagi mafia migas di revisi UU Migas adalah mejamin pemenuhan hak informasi, partisipasi, dan akses masyarakat atas industri di sepanjang rantai proses industri ekstraktif meliputi keterbukaan kontrak KKKS, penghitungan DBH, data lifting secara real time, data produksi minyak dan gas bumi, penjualan dan penerimaan minyak dan gas bumi milik negara, dokumen AMDAL, dll. “Mekanisme EITI (Extractive Industry Transparency Initiative) juga akan di-endorse dengan lebih kuat dalam revisi UU Migas ini,” ungkapnya.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menuturkan, poin masukan Ketiga dari masyarakat sipil lain adalah pembentukan Petroleum Fund, sebagai dana dari penerimaan minyak dan gas bumi yang disisihkan dan dikelola secara akuntabel untuk mendukung agenda pemerintah. “Tujuannya untuk tiga hal, pengalihan energi fosil ke energi bersih terbarukan; pembangunan infrastruktur migas seperti kilang (refinery), jaringan distribusi gas bumi, terminal gas alam cair dll; kegiatan yang berkaitan dengan cadangan migas baru,” paparnya.

Aiden Yusti, Ketua Lembaga Pemberdayaan Aksi Demokrasi –anggota koalisi PWYP Indonesia-  menambahkan, pelibatan masyarakat dalam proses penentuan Wilayah Kerja. Adanya kewajiban untuk memperhatikan concern masyarakat sekitar tambang dalam pertimbangan untuk mengekstrak atau tidak mengekstrak cadangan migas, termasuk hak-hak masyarakat adat. “Di samping itu, pemenuhan hak daerah dalam penyertaan modal (participating interest/PI) juga perlu dikelola dengan tata kelola BUMD dan strategi prmodalan yang kuat, jangan sampai hak PI daerah menjadi perburuan politik rente baru yang lebih menguntungkan pemodal dibanding masyarakat,” kata Aiden yang berasal Riau yang dikenal daerah kaya migas.

Terakhir, Carolus Tuah dari Pokja 30 Kalimantan Timur –anggota koalisi PWYP Indonesia- mengatakan aspek perencanaan juga harus dijadikan concern. Menurut dia, berdasarkan pembahasan oleh masyarakat sipil pengelolaan migas harus dilakukan berdasarkan perencanaan migas yang terintegrasi dengan beberapa hal diantaranya kebijakan pemenuhan kebutuhan energi nasional sebagaimana dimandatkan UU Energi; “Selain itu aspek perencanaan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam dan perencanaan tata ruang. Perencanaan migas ini harusnya juga menjadi bagian dari RPJM dan RPJP,” tukas Tuah.

Untuk diketahui, pembahasan revisi UU Migas alternatif versi masyarakat sipil ini telah dimulai sejak 28 Februari 2014 lalu hingga sekarang. Metode yang digunakan dalam menyusunan draft adalah focus group discussion (FGD) dengan teman-teman koalisi masyarakat sipil dan expert, serta interview.

Offshoreindonesia.com | Rabu, 17 Desember 2014 16:37:00 WIB


Bagikan