Jakarta – Korupsi di sektor ekstraktif masih menjadi masalah serius dan berbahaya di tingkat global dan nasional. Panama Papers dan Unaoil Leaks mengungkap praktik curang para pelaku industri minyak dan pertambangan. Korupsi dalam rantai nilai ekstraktif merupakan hambatan utama bagi pembangunan karena dapat mengubah alokasi dan distribusi sumber daya yang efisien untuk mencapai tujuan pembangunan. Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa satu dari lima kasus suap transnasional terjadi di sektor ekstraktif. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi meningkatkan biaya bisnis dan menghilangkan pendapatan yang sangat dibutuhkan negara.
Indonesia merupakan salah satu produsen mineral kritis, namun Indonesia mendapat skor rendah pada Indeks Persepsi Korupsi (CPI). CPI Indonesia turun 4 (empat) poin, dari 38 pada 2021 menjadi 34 pada 2022. Peringkat Indonesia juga turun 14 tingkat, dari 96 menjadi 110 dari 180 negara. Salah satu sumber data CPI Indonesia yang mengalami penurunan terbesar adalah Political Risk Service (PRS) yaitu 13 poin. Indikator tersebut menyoroti adanya korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, dan pembayaran suap untuk izin ekspor dan impor.
Konflik kepentingan atau Conflict of Interest (COI) tidak selalu terkait dengan tindak pidana korupsi. Namun, situasi COI dapat mendorong seseorang yang berkedudukan sebagai pembuat kebijakan untuk bertindak dan memutuskan dari sudut pandang subyektif yang menguntungkan pihak tertentu. Demikian diungkap Ahmad Qisa’i, Anti-Corruption Advisor USAID Indonesia, dalam Publish What You Pay Knowledge Forum (PKF) bertajuk Peran Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) dalam Mendukung Agenda Anti-korupsi pada 15 Februari 2023 lalu. Kepemilikan bisnis oleh pejabat eksekutif dan anggota legislatif dapat menjadi sumber COI. Oleh karena itu, sangat penting bagi perusahaan ekstraktif untuk melaporkan pemilik manfaat atau beneficial ownership (BO) mereka untuk mencegah terjadinya COI.
Aturan tentang pelaporan BO tercantum dalam Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Terorisme. Hal ini juga tertuang dalam Standar Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI) 2019, requirement 2.5. Indonesia merupakan salah satu negara pelaksana EITI, artinya Indonesia juga wajib membuka informasi yang cukup detail kepada publik tentang bagaimana pengelolaan penerimaan dari sektor migas dan pertambangan dilakuka, termasuk mengungkapkan data BO.
“EITI dapat memainkan peran penting dalam memperkuat agenda antikorupsi” ujar Marie Gay Alessandra Ordeness, Asia Director and Anti-Corruption Lead, EITI International Secretariat.
EITI dapat mengungkap praktik tata kelola sumber daya alam yang rentan disalahgunakan, mengidentifikasi kontrak dan transaksi yang merugikan publik, mendukung pemantauan dan advokasi oleh masyarakat sipil, serta mendorong adanya norma dan kebijakan global terkait antikorupsi. Marie Gay juga menjelaskan tentang pentingnya peran Multi Stakeholder Group (MSG) dalam pencegahan korupsi. Menurutnya, MSG dapat mendukung diskusi warga tentang pencegahan korupsi, memonitor, hingga mengadvokasi. MSG misalnya, dapat menindaklanjuti data yang tidak sinkron dalam Laporan EITI dengan pembayaran yang tidak tercatat di Kementerian Keuangan RI.
Wawan Suyatmiko dari Transperancy International Indonesia juga mengungkapkan pentingnya aspirasi dan pelibatan publik dalam mencegah dan melawan korupsi. Pelibatan kelompok masyarakat dan media pada akses pembuatan kebijakan harus dijamin oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar kebijakan tersebut akuntabel. Pemerintah harus memastikan adanya akses data bagi masyarakat. Informasi dan data yang mudah diakses oleh masyarakat, perlu dijamin sebagai hak masyarakat dalam memperoleh informasi dan data secara adil dan setara. Penting juga untuk mendorong orientasi ekonomi berbasis antikorupsi. Orientasi pertumbuhan ekonomi dan kemudahan berbisnis harus menjamin prinsip antikorupsi. Paket deregulasi, debirokratisasi, dan resentralisasi harus diiringi dengan kepatuhan sektör bisnis yang berorientasi pada integritas dan antikorupsi.
Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Cahyono Adi mengungkapkan, Pemerintah terus berupaya meningkatkan tata kelola yang baik di sektor ekstraktif. EITI memberikan kerangka kerja untuk tata kelola yang transparan dan akuntabel. Tidak hanya melalui EITI, inisiatif antikorupsi di sektor industri ekstraktif di Indonesia juga dituangkan dalam Aksi Pencegahan Korupsi diantaranya melalui kebijakan satu peta, transparansi BO, sistem berbasis IT dalam proses bisnis perizinan, integrasi aplikasi perizinan di Kementerian ESDM dengan Online Single Submission dan wajib pajak, serta penerapan Sistem Manajemen Anti Penyuapan. Dari berbagai upaya peningkatan tata kelola ini, pendapatan dari industri ekstraktif diharapkan dapat memberikan dampak yang signifikan dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
PKF adalah forum diskusi dan berbagi pengetahuan yang diselenggarakan secara rutin oleh koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas, serta mengembangkan diskursus publik terkait isu, topik dan kebijakan di sektor sumber daya alam.
Penulis : Mouna Wasef
Reviewer : Aryanto Nugroho