Jakarta – Pada 14 November 2022, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengundang Dr. Hasrul Hanif, Pengajar pada Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM sekaligus Peneliti PoLGOV, sebagai Narasumber dalam PWYP Knowledge Forum (PKF) yang mengupas desertasi Beliau di Department of Politics, University of Sheffield, Inggris, yaitu “Extractives Industries Transparency Initiatives (EITI) and Democratic Governance in Indonesia”. PKF merupakan forum diskusi dan berbagi pengetahuan yang diselenggarakan secara rutin oleh koalisi PWYP Indonesia, guna meningkatkan pemahaman dan kapasitas, serta mengembangkan diskursus publik terkait isu, topik dan kebijakan terkini yang sedang menjadi sorotan.
Hanif memulai dengan pertanyaan besar sekaligus skeptis, apakah EITI menjadi struktur besar dalam menjawab persoalan tantangan terhadap tata kelola sumber daya ekstraktif di Indonesia? Skeptisisme ini tidak hanya ada di Indonesia namun juga di beberapa negara dunia. Selain itu, terdapat skeptis lain mengenai transparansi, dimana transparansi dalam EITI itu sendiri merupakan titik temu yang disepakati oleh anggota forum multipihak. Muncul kritik berupa keterjebakan prosedur, terdapat missing link yang mengasumsikan keterkaitan langsung antara “memberikan informasi” dengan “memberdayakan”. Selain itu, Hanif juga menyampaikan dinamika politik global dan struktur geopolitik, dapat begitu memengaruhi sejauh mana peran EITI dalam politik domestik di Indonesi.
Dalam perjalanannya EITI muncul dengan karakteristik yang khas, pertama, menjadi rules of the game yang harus dipatuhi dimana skema yang lebih kompleks melihat dari beberapa prinsip-prinsip yang ditetapkan dan negara-negara mampu untuk mencapai prinsip-prinsip tersebut, hanya saja selanjutnya menjadi rumit ketika harus memenuhi standar yang diseragamkan. Kedua, peran dari MSG (Multi Stakeholder Group) yang begitu kuat, terlihat dari keterwakilan, sifat independen serta kerja kolektif dalam kolaborasi dan kerjasamanya. Namun yang menjadi hal menarik adalah dalam EITI Indonesia, politisi tidak menjadi peran penting dalam MSG, imbuhnya.
Hasil riset dari beliau menyebutkan jika EITI memang mengakui terjebak dalam konteks legal dan variasi prosedur namun abai atas relasi kuasa politik dalam isu tata kelola SDA. Namun, konteks transparasi ini yang kemudian juga menjadi sisi pisau bermata dua, yakni akan dituntut untuk terus dibuka secara terus menerus. Di sisi lain, EITI mengimplikasikan gerakan reformasi tata kelola SDA meskipun hubungannya lebih bersifat “konseptual” dan individual daripada kelembagaan. Namun pada akhirnya menimbulkan pernyataan, apakah EITI Indonesia masih relevan ke depan dalam ekspansi isu dan kepentingan bagi pemerintah maupun CSO, serta mengubah pola komunikasi publik? Ini yang harus dijawab bersama oleh seluruh pegiat tata kelola SDA di Indonesia.
Penulis: Raudatul Jannah
Reviewer: Aryanto Nugroho