SULTENG RAYA – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia yang merupakan salah satu lembaga yang konsen dibalik upaya Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (EDSM), menghawatirkan RUU Minerba justru membuka cela terjadinya tindak pidana korupsi.

Direktur Eksekutif PWYP Indonesia, Maryati Abdullah mengatakan, kekhawatiran itu terjadi jika terjadi konflik interest dalam pemberian izin usaha pertambangan. Sebab, tambang merupakan komoditas strategis dalam memberikan dampak ekonomi nasional, khususnya bagi daerah pertambangan.

“Bahkan, pendapatan dari sektor pertambangan merupakan strategi menciptakan ketahanan ekonomi. Dampaknya cukup besar terjadinya korupsi,” jelasnya kepada media ini, Rabu (8/1/2020).

Namun yang menjadi perhatian penting, potensi korupsi dapat terjadi dalam bentuk transfer pricing atau manipulasi harga transfer  dalam perdagangan komoditi pertambangan. Salah satu celah adanya potensi tersebut, salah satunya dapat ditemukan melalui dokumen bukti penjualan perusahaan, baik ekspor maupun domestik.

Mengapa demikian kata Maryati, praktik transfer pricing dapat mengeruk hak-hak ekonomi masyarakat yang semestinya keuntungan dari perdagangan komiditi pertambangan dalam rangka meningkatkan pendapatan, baik kepada pemerintah maupun langsung kepada masyarakat.

“Transfers pricing ini mesti menjadi perhatian penting pemerintah daerah,” jelasnya.

Praktik tersebut banyak dilakukan oleh perusahaan koorporasi untuk menghindari atau meminimalkan pembayaran pajak dalam transaksi jual beli komiditi tambang. Sehingga, pendapatan bagi Negara tidak sesuai dengan hasil penjualan.

Olehnya itu Maryati, mengingatkan RUU Minerba perlu memikirkan bagaimana menghentikan praktik tersebut. Sehingga, terkesan tidak hanya memudahkan investasi di Indonesia, tapi juga memikirkan seluruh aspek kehidupan, salah satunya ekonomi.

“Sudah banyak sekali penelitian yang menemukan bahwa praktek itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan koorporasi,” ujarnya. RAF

Sumber: Sultengraya.com