Kekayaan sumber daya ekstraktif sebagai aset pembangunan perlu dikelola secara transparan dan akuntabel untuk kemakmuran rakyat. Hal itulah yang melatarbelakangi PWYP Indonesia menggelar Konferensi Nasional Tata Kelola Sumber Daya Ekstraktif yang pertama bertema “Extracting the Future: Menata Sumber Daya Ekstraktif untuk Pembangunan Berkelanjutan”, Selasa (17/11) lalu.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia dalam sambutannya menyampaikan bahwa perlu perubahan pola pikir dalam memandang Sumber Daya Alam (SDA) . “SDA bukan hanya komoditas yang bisa dijual menjadi penerimaan negara, tetapi sebagai aset pembangunan,” jelas Maryati. SDA sebagai aset pembangunan yaitu SDA yang ditransformasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan juga dikelola secara transparan, akuntabel, dan berkeadilan bagi keseimbangan dan daya dukung lingkungan.

Emil Salim, Keynote Speaker dalam konferensi menyampaikan, sektor migas adalah sektor tertutup sehingga tidak transparan. Tidak transparannya sektor migas, dikarenakan hanya orang-orang tertentu yang mengerti teknis pertambangan. Emil juga menyoroti aspek desentralisasi yang memperbesar praktek korupsi.

“Setelah izin tambang dikeluarkan oleh Bupati, ada persekongkolan antara pengusaha tambang dan pemerintah daerah terkait dana kampanye. Sehingga tranparansi menjadi kunci pemberantasan korupsi di sektor ekstraktif.” jelasnya.

Konferensi ini juga dihadiri oleh narasumber dari sekretariat Ketua Komisi Energi DPR RI, Extraktive Transparency Industry Initiative (EITI) Indonesia, Kantor Staff Presiden RI, Kemenko Perekonomian RI, SKK Migas, Kementrian ESDM, Kementrian Keuangan, BKPM, Kemendagri, Pemkab. Bojonegoro, Pemkab. Indragiri Hulu, KPK, Pemprov Aceh, Pemprov Jatim, Pemprov Kaltim, dan perwakilan CSO.