Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 memandatkan pembatasan produksi dan ekspor batu bara, juga pengutamaan pasokan batu bara untuk kebutuhan domestik. Kebijakan nasional ini diturunkan ke tingkat provinsi melalui penetapan kuota produksi. Namun target produksi tersebut seringkali terlampaui sebagaimana yang terjadi di Provinsi Kalimantan Timur. Karenanya, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama Pokja-30 menyelenggarakan diskusi terfokus yang bertajuk “Pengawasan Produksi dan Ekspor Batubara di Provinsi Kalimantan Timur di Samarinda pada (15/8) lalu.

Sebagai pemantik diskusi, Wahyu Widhi Heranata selaku Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur memberikan informasi terkini dari situasi pertambangan batu bara di Kalimantan Timur. “Total IUP di Kalimantan Timur ada 1404. 569 di antaranya berada di fase operasi produksi. Tapi tidak semuanya aktif. Di catatan kami, hanya 155 IUP yang aktif berproduksi. Untuk tahun ini, Kalimantan Timur diberi kuota produksi sebesar 61 juta ton. Hingga semester 1, realisasinya sudah mencapai 32,7 juta ton”, jelas Wahyu.

Wahyu melanjutkan bahwa instrumen pengendalian produksi maupun penjualan batu bara yang digunakan memang masih bersifat administratif, yakni dilihat dari evaluasi Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) dan laporan realisasi. “Namun kami juga melakukan evaluasi lapangan. Sekarang kami sudah memiliki 38 inspektur tambang. Jumlah ini memang belum seimbang dengan jumlah izin, namun jumlah ini sudah banyak bertambah dibandingkan sebelumnya”, pungkas Wahyu.

Menanggapi paparan Dinas ESDM, Kasharyanto, Kepala Kantor Perwakilan OMBUDSMAN RI Kalimantan Timur menyoroti perencanaan produksi batu bara Kalimantan Timur yang seharusnya mempertimbangkan neraca batu bara serta daya dukung lingkungan. Sehingga penetapan tidak serta merta berangkat dari pengajuan perusahaan dan tingkat produksi bisa dikontrol.

Di sisi lain, Baihaqi Hazani, Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM Kaltim menilai idealnya memang penetapan produksi batu bara mengikuti RPJMN juga RUEN. Namun perlu dipahami bahwa pemerintah daerah juga memerlukan sumber pendanaan untuk pembangunan. “Tidak bisa dipungkiri bahwa pertambangan memiliki peran untuk menambah penerimaan Kalimantan Timur. Untuk itu, dalam proses penetapan kuota produksi juga harus memasukkan hal ini sebagai bahan pertimbangan”, jelas Baihaqi.

Dari sisi pengawasan penjualan batu bara, Hotman Siagian, Kepala Seksi Lalu Lintas Angkutan Laut dan Usaha Kepelabuhanan di Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan Samarinda, menjelaskan bahwa sekarang tengah dilakukan proses penertiban izin Terminal untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) dan Terminal Khusus (TERSUS) yang merupakan mandat Instruksi Dirjen Perhubungan Laut Nomor UM.008/53/12/DJPL-18. Hal ini dimaksudkan untuk memperketat pengawasan pelabuhan agar memitigasi ekspor ilegal.

Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kalimantan Timur menyampaikan pihaknya telah melakukan penelusuran pelabuhan di sekitar Daerah Aliran Sungai Mahakam. Setidaknya ada 60 pelabuhan dari Long Hubung hingga ke Samarinda. “Jika pihak KSOP membuka data pelabuhan berizin, akan memudahkan publik untuk ikut mengawasi”, jelas Rupang.

Kebocoran dalam pengangkutan batu bara menjadi salah satu isu krusial yang dibahas dalam diskusi. Namun menurut Lorent, perwakilan KSOP Samarinda, pengawasan dalam pengangkutan jalur laut sudah ketat. Adapun untuk keabsahan materil dokumen terkait muatan kapal tidak menjadi tanggung jawab KSOP. Informasi muatan kapal, termasuk volume dan kadar batu bara, didapatkan dari surveyor.