JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sebaiknya menaati patokan produksi batubara 2017 sebanyak 413 juta ton untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Ada indikasi untuk menaikkan produksi menjadi 477 juta ton tahun ini. Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, yakni koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif Indonesia, mendesak pemerintah mematuhi produksi batubara sesuai yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dalam dokumen itu, patokan produksi batubara 2017 adalah 413 juta ton.
Koalisi menyebut ada permintaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk menaikkan produksi batubara tahun ini menjadi 477 juta ton. Saat dikonfirmasi perihal permintaan kenaikan produksi batubara tersebut, Minggu (16/7), Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian ESDM Sujatmiko belum dapat memastikan hal itu.
Dalam keterangan resmi dari PWYP Indonesia, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Nasional Merah Johansyah Ismail mengatakan, pembatasan produksi itu penting untuk menjaga keseimbangan lingkungan, khususnya terhadap penambangan batubara di kawasan konservasi. Selain pembatasan, rencana strategis lain yang diperlukan adalah moratorium penerbitan izin pertambangan. ”Saat ini 44 persen wilayah daratan dan perairan Indonesia sudah dikapling untuk kawasan tambang. Dari jumlah itu, 10 persen adalah tambang batubara yang tumpang tindih dengan 4,4 juta hektar lahan produktif,” kata Johansyah.
Kebutuhan domestik
Dalam RPJMN 2015-2019, produksi batubara di dalam negeri dibatasi dengan jumlah yang terus menurun sampai 2019. Pada 2015 patokan produksi batubara adalah 425 juta ton, sedangkan sampai 2019 turun menjadi 400 juta ton. Selama ini rata-rata pasokan batubara untuk kebutuhan domestik adalah 20 persen dari total produksi, sedangkan selebihnya untuk diekspor.
Peneliti tata kelola batubara pada PWYP Indonesia, Agung Budiono, mengatakan, pembatasan produksi batubara seperti yang tertuang dalam dokumen RPJMN 2015-2019 memiliki sejumlah muatan penting. Salah satunya adalah bagaimana mengurangi ketergantungan pemanfaatan sumber energi fosil untuk beralih ke sumber energi terbarukan. Sementara itu, harga batubara acuan periode Juli 2017 ditetapkan pemerintah sebesar 78,95 dollar AS per ton. Harga tersebut naik dibandingkan dengan harga batubara acuan Juni 2017 sebesar 75,46 dollar AS per ton. Kenaikan harga tersebut disebabkan sejumlah faktor, seperti curah hujan tinggi dan libur Idul Fitri pada Juni 2017.
”Akibat curah hujan tinggi dan libur Lebaran, aktivitas produksi batubara dari tambang-tambang di Indonesia berkurang. Hal itu menyebabkan pasokan ke pasar regional dan internasional menurun,” kata Sujatmiko. Bagi Indonesia, batubara sangat penting sebagai bahan baku pembangkit listrik. Selain ongkos produksi pembangkit listrik tenaga uap dari pembakaran batubara lebih murah, cadangan batubara di Indonesia terbilang melimpah.
Dalam program pembangkit listrik 35.000 megawatt, sekitar 60 persen total pembangkit tersebut adalah pembangkit bertenaga uap. Kendati demikian, eksploitasi tambang batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik di Indonesia mendapat penolakan dari sejumlah pihak. Isu penolakan itu berlatar belakang masalah lingkungan. Hasil pembakaran batubara dianggap bertentangan dengan kesepakatan Paris untuk menurunkan emisi gas buang. Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani kesepakatan tersebut.
Sumber: Kompas