Pemerintah secara resmi telah menyerahkan Surat Presiden (Surpres) dan Draft Rancangan UndangUndang (RUU) Cipta Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu (12/2/2020). Draft RUU Cipta Kerja ini merupakan salah satu dari 4 (empat) RUU yang diusulkan Pemerintah melalui skema Omnibus Law yaitu RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN), RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Kerja, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Draft RUU Cipta Kerja memuat setidaknya 11 Klaster, 79 UU, 15 Bab, dengan 174 Pasal yang akan merampingkan, memangkas dan menghapus puluhan regulasi setingkat UU yang dianggap tumpang tindih dan menghambat kemudahan investasi. Tak heran jika RUU Cipta Kerja ini disebut juga RUU “Sapu Jagat”.

Sejumlah perizinan akan terdampak dengan adanya RUU Cipta Kerja ini, termasuk di dalamnya sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Diantaranya, ditariknya kewenangan pemberian izin, pembinaaan dan pengawasan ke Pusat; Penguatan konsep wilayah pertambangan; Pemberian insentif kepada pihak yang membangun smelter dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulut tambang; dan Perubahan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam rangka kelanjutan operasi.

Namun demikian, pada awal proses penyusunan draft RUU Cipta Kerja ini dikritik oleh berbagai kalangan pemerhati sektor pertambangan di masyarakat. Bukan hanya dari substansi-nya, namun juga proses penyusunan Naskah Akademis (NA) dan Draft RUU Cipta Kerja di Eksekutif (Pemerintah) yang dianggap tertutup dan kurang partisipatif. Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengungkapkan, “Sejak awal, publik kesulitan untuk mendapatkan draft NA maupun Draft RUU Cipta Kerja dari pihak Pemerintah. Padahal, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan terutama Pasal 89 jo 96 telah mengatur kewajiban Pemerintah untuk membuka akses secara mudah segala rancangan peraturan perundang-undangan untuk masyarakat.” Meskipun saat ini NA dan Draft RUU Cipta Kerja sudah di-publish diwebsite Pemerintah, terutama pasca diserahkannya dokumen tersebut ke DPR, justru momentum krusialnya pada saat penyusunan dan pembahasan di tingkat Pemerintah lah, keran aspirasi mesti dibuka seluas-luasnya.

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Pengembangan Jaringan, PWYP Indonesia mengungkapkan bahwa secara substansi Draft RUU Cipta Kerja, khususnya bab dan pasal yang terkait sektor pertambangan minerba, hampir sama dengan usulan Draft RUU Minerba maupun Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang sempat menjadi kontroversi dan dikritik oleh banyak kalangan beberapa waktu yang lalu. Pasal-pasal “kontroversial” seperti Perpanjangan otomatis KK & PKP2B secara langsung tanpa melalui proses lelang dan luas wilayah yang lebih dari 15.000 Ha, yang dianggap menguntungkan sejumlah Perusahaan besar semata; ataupun Penghapusan Pasal 165 UU Minerba terkait sanksi untuk Pemberi izin yang melakukan penyalahgunaan kewenangan terkait pemberian izin usaha pertambangan.

“Ini seperti kemasan baru, namun sebenarnya isi produknya sama dengan yang kemarin” jelas AryantoSelain memindahkan pasal-pasal kontroversial RUU Minerba dan DIM Pemerintah, Draft RUU Cipta Kerja juga menghapus, mengubah dan menambahkan sejumlah pasal dalam UU Minerba yang berdampak cukup fundamental terhadap sektor ini. Diantaranya, penarikan kewenangan perizinan, pembinaan dan pengawasan ke Pemerintah Pusat; Penguatan konsep Wilayah Hukum Pertambangan; Pengaturan persyaratan Perizinan melalui rezim Peraturan Pemerintah.

“Implikasinya sangat luas dan mendasar.” jelas Aryanto. Dalam konteks penarikan kewenangan ke Pemerintah Pusat saja misalnya. Hal tersebut, berpotensi bertentangan dengan cita-cita otonomi daerah, khususnya di era reformasi. Mengubah konsep desentralisasi dan demokrasi di era otonomi daerah dan berpotensi menggiring Indonesia menuju negara yang sentralistik. “Selain itu, apakah Pemerintah Pusat sudah siap melaksanakan seluruh kewenangan perizinan, pembinaan dan pengawasan sekaligus di sektor ini, baik dari sisi SDM, Kelembagaan, dan lainnya” jelas Aryanto Jika kita cermati, sebagian besar perubahan UU sektoral yang terdampak dari Omnibus Law ini memandatkan pada pembentukan peraturan lebih lanjut di bawah UU untuk melakukan pengaturan lebih detail, baik itu melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) maupun peraturan turunan lebih lanjut di bawahnya. Bahkan, jika terdapat suatu konflik atau dispute dalam pelaksanaan kegiatan investasi dan perizinan, penyelesaian lebih cenderung diserahkan kepada Presiden melalui Perpres.

Kekhawatiran adanya upaya kembali pada sentralisasi semakin menguak dengan kontroversi Pasal 170 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk dapat mengubah UU melalui Peraturan Pemerintah. Selain bertentangan dengan UU No 12 Tahun 2011 (dan perubahannya) juga berpotensi melanggar Konstitusi UUD 1945. Argumen ‘salah ketik’ atas pasal 170 yang dinyatakan oleh Menkopolhukan dan Menteri Hukum dan HAM yang dimuat beberapa media merupakan preseden buruk dalam proses penyusunan peraturan perundangan yang menimbulkan polemik dan kesimpangsiuran di tengah masyarakat.

Belum lagi dengan sejumlah pasal-pasal kontroversial lainnya yang saling terkait antara sektor satu dengan sektor lainnya. “Dengan problematika dalam tahap prosesnya maupun substansinya, sebaiknya Pemerintah mengkaji kembali lebih dalam dan membuka keran aspirasi seluas-luasnya bagi publik dan pemangku kepentingan untuk memberikan masukan”. desak Aryanto. Maryati mengingatkan, ”RUU Cipta Kerja perlu dilakukan kajian lebih mendalam dengan mendengarkan aspirasi dari berbagai kalangan secara luas dan berbagai pemangku kepentingan. Hal tersebut sangat penting sebagai bentuk assesment atas dampak regulasi (regulatory impact assesment) yang semestinya dikedepankan dalam proses pembuatan kebijakan berupa regulasi. Hal ini penting untuk menghindari bias dan konflik kepentingan, serta untuk melakukan pencegahan resiko dampak dengan parameter penilaian yang mendalam dan partisipatif.“ Imbuhnya.

Jakarta, 24 Februari 2020
Publish What You Pay Indonesia
CP : Aryanto (aryanto@pwypindonesia.org)

Note : Pandangan dan catatan analisis PWYP Indonesia lebih detail mengenai proses dan substansi draft RUU Cipta Kerja disampaikan dalam Diskusi Media pada 24 Februari 2020 dan dapat diakses melalui website PWYP Indonesia www.pwypindonesia.org.


Bagikan