Jakarta – Koalisi Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia memberikan apresiasi positif atas diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPU/PT). Beleid yang ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 1 Maret 2018 ini mewajibkan setiap korporasi (seperti perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya) untuk menetapkan, melaporkan, dan melakukan pembaharuan ‘Pemilik Manfaat’ dari korporasi.

‘Pemilik Manfaat’ korporasi dalam Perpres ini telah diatur dengan kriteria tersendiri untuk masing-masing jenis korporasi. Diantaranya memiliki saham, memiliki hak suara, menerima keuntungan/laba/sisa hasil usaha, memiliki kekayaan awal, memberikan sumber pendanaan/modal baik dalam bentuk uang atau aset lebih dari 25% pada korporasi; memiliki kewenangan dan atau pengaruh untuk memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina atau pengawas korporasi; memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi; Berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia mengungkapkan, penerbitan Perpres Nomor 13 Tahun 2018 yang ditunggu-tunggu banyak pihak ini, semakin memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU/PT yang diyakini sebagai bagian dari upaya mempercepat pemberantasan korupsi, mencegah penghindaran dan penggelapan pajak, serta mencegah aliran uang haram (illicit financial flow) dan tindak pidana lainnya. Termasuk informasi ‘Beneficial Ownership’ ini dapat digunakan oleh berbagai instansi Kementerian/Lembaga baik di pusat maupun di daerah untuk meningkatkan kepatuhan korporasi, menghindari monopoli, ataupun mencegah resiko dalam kegiatan perdangan maupun kegiatan perekonomian yang secara umum melibatkan korporasi. Terlebih publik juga dapat mengakses informasi BO yang disediakan oleh ‘Instansi Berwenang’ sesuai dengan ketentuan Keterbukaan Informasi Publik, sebagaimana ditegaskan di dalam Perpres ini.

Maryati mengungkapkan, Penerbitan Perpres Nomor 13 Tahun 2018 ini juga menunjukkan keseriusan Pemerintah untuk berperan penting dalam lanskap reformasi keuangan dan perpajakan global. Sebut saja diantaranya Indonesia sebagai negara anggota G20, pada tahun 2014 Indonesia telah menyepakati High Level Principle on Beneficial Ownership and Transparency yang menekankan pentingnya transparansi, ketersediaan informasi Beneficial Ownership (BO) yang akurat dan dapat diakses oleh lembaga yang berwenang. Indonesia sebagai anggota Asia Pacific Group on Money Laundering (APG), Indonesia juga berkomitmen untuk memiliki peraturan domestik yang sesuai dengan Standar FATF (Financial Act Task Force)-khususnya rekomendasi 24 dan 25 FATF mengenai transparansi BO. Dalam hal ini, Indonesia berpeluang dalam meningkatkan penerimaan pajaknya melalui pertukaran informasi  dengan negara lain dengan yurisdiksi yang berbeda.

Dadang Trisasongko, Sekjen Transparansi Internasional (TI) Indonesia menyampaikan banyaknya kasus korupsi selama ini juga ditengarai akibat semakin eratnya relasi politik dan bisnis. Ketiadaan perangkat hukum tentang penanganan dan pencegahan konflik kepentingan telah membuka peluang yang begitu besar bagi para politisi, kepala daerah, birokrat dan pebisnis untuk melakukan kolusi dan korupsi.

“Terbitnya Perpres No. 13 Tahun 2018 ini sebenarnya dapat digunakan sebagai acuan bagi  pengguna barang dan jasa publik untuk secara aktif meminta informasi BO, melakukan due dilligence dan memastikan  penguasaan sumber daya publik bebas dari praktik korupsi. Transparansi BO adalah langkah penting pemerintah untuk memberantas praktik korupsi politik yang memperlambat laju peningkatan skor Corruption Perception Index (CPI). Sinergi antara Perpres BO dan upaya antikorupsi lainnya  diharapkan dapat memgakselerasi capaian dan target pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi,” tegas Dadang.

Pada ranah sektoral, Aryanto Nugroho, Wakil Unsur Masyarakat Sipil di EITI Indonesia menambahkan, sektor industri ekstraktif seperti migas dan tambang telah mengawali penerapannya melalui penyusunan peta jalan (road map) penerapan keterbukaan ‘Beneficial Ownership’ melalui inisiatif multi-pemangku kepentingan  Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) yang berada di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian RI. Bahkan, Indonesia menjadi tuan rumah dalam konferensi internasional ‘Keterbukaan Beneficial Ownerhsip’  di Jakarta, Oktober tahun 2017 lalu. Menteri ESDM, Ignasius Jonan pun telah menerbitkan Permen Nomor 48 Tahun 2017 tentang Pengawasan Pengusahaan Sektor ESDM dimana permintaan persetujuan kepemilikan, dewan direksi dari korporasi di bidang ESDM harus disertai dengan pengungkapan data pemilik sesungguhnya/pengendali dari korporasi.  Di sisi lain “Pelaku usaha tidak perlu khawatir perpres ini akan menghambat investasi atau tumpang tindih, justru ini akan saling melengkapi peraturan lainnya yang telah terbit,” imbuhnya.

Sementara itu, Nurkholish Hidayat, Board Lokataru yang juga pegiat Forum Pajak Berkeadilan mengkhawatirkan “Secara substansi, pengaturan mengenai kriteria BO dalam Perpres ini (pasal 4) jangan sampai bias, penentuan kriteria BO harus melihat kondisi faktualnya  yakni kepemilikan de facto bukan sekedar kepemilikan formal dalam surat-surat dan dokumen hukum atau administrasi lainnya. Nurkholish berharap, Perpres ini juga dapat melingkupi kepemilikan de facto, yang meliputi hubungan-hubungan tidak langsung antara penerima manfaat sebenarnya dengan pihak ketiga yang secara formal tercantum sebagai pemilik korporasi. misalnya, istri, anak atau agen lainnya yang bahkan seolah tidak punya hubungan dengan si pemilik sebenarnya, tetapi sebenarnya secara faktual berada dibawah kekuasaan  si penerima manfaat sebenarnya. “Banyak modus korupsi dan pencucian uang adalah dengan menggunakan hubungan tak langsung seperti ini” – imbuhnya.

Meski demikian, Nurkholish menambahkan, Perpres ini memperkuat peraturan lainnya yang telah terbit seperti yang dikeluarkan oleh OJK ataupun Dirjen Pajak. Sebut saja diantaranya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Dirjen Pajak, maupun  (POJK) Nomor 11/POJK..4/2017 tentang Laporan Kepemilikan atau Setiap Perubahan Kepemilikan Perusahaan Terbuka dan POJK No. 12 /POJK.01/2017 Tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Di Sektor Jasa Keuangan; Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak (DJP) No. SE – 04/PJ.34/2005 tentang Petunjuk Penerapan Beneficial Ownership sebagaimana tercantum dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Bergada (P3B) antara Indonesia dengan Negara Lain, terakhir di revisi melalui Peraturan DJP No. PER–25/PJ/2010; serta Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No. 13 Tahun 2017 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Fasilitas Penanaman Modal yang memuat ketentuan seputar beneficial ownership atau pemilik manfaat sebenarnya.

Secara umum koalisi masyakarakat sipil mendesak agar penerbitan Perpres 13 Tahun 2018 ini diikuti dengan upaya percepatan perbaikan maupun pengembangan seluruh sistem pendukunganya, misalnya penerapan Single Identity Number (SIN) sebagai pondasi membangun sistem integrasi data di Indonesia, memastikan keakuratan data dan mengembangkan sistem dalam pelaporan BO maupun penegakan hukum atas tidak dilaksanakannya transparansi BO.

 

Contact Person :

 

Maryati Abdullah maryati@pwyp-indonesia.org
Dadang Trisasongko dtrisasongko@ti.or.id
Aryanto Nugroho aryanto@pwyp-indonesia.org
Nurkholis Hidayat nilkoe@gmail.com