Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan adanya perbedaan data ekspor batu bara antarkementerian dalam beberapa tahun terakhir. Perbedaan data ini membuka celah adanya korupsi di sektor tambang.

Koordinator Divisi Riset ICW Firdaus Ilyas mengatakan selama 2006 hingga 2016, pemerintah tidak memiliki data ekspor batu bara yang sama. Sebagai contoh, dalam periode tersebut, catatan Kementerian Perdagangan menyebutkan ekspor batu bara 3.421,6 juta ton. Namun, menurut Kementerian ESDM volume ekspor batu bara Indonesia periode yang sama sebesar 2.902,1 juta ton.

Tak hanya antarkementerian, data ekspor yang dicatat Kementerian Perdagangan berbeda dengan negara pengimpor batu bara. Negara penerima batu bara Indonesia ini hanya 3.147,5 juta ton.

Secara nilai, ekspor batu bara itu juga berbeda. Selama 2006-2016, nilai ekspor batu bara yang tercatat berdasarkan data dari pelabuhan keberangkatan atau free on board (FOB) di Indonesia, mencapai US$ 184,853 miliar. Namun, jika mengacu data pelabuhan tujuan negara pembeli (Cost Insurance and Freight/CIF) sebesar US$ 226,525 miliar.

Dari data tersebut, ICW menghitung nilai transaksi yang tidak dilaporkan secara wajar dalam 10 tahun itu mencapai US$ 27,062 miliar atau sekitar Rp 365,3 triliun (memakai kurs Rp 13.500). Negara tujuan ekspor yang terindikasi transaksinya tidak terlapor pada periode itu di antaranya Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Thailand dan Taiwan.

Secara keseluruhan nilai indikasi kerugian negara akibat penyimpangan ekspor batu bara 2006-2016 itu mencapai Rp 133,6 triliun. Ini berasal dari kewajiban pajak sebesar Rp 95,2 triliun dan royalti (DHPB) sebesar Rp 38,5 triliun yang tidak tersetorkan. “Ketidaksinkronan ini membuka celah untuk terjadi penyimpangan,” kata Firdaus dalam diskusi Publish What You Pay Indonesia bertajuk Strategi Pengelolaan Batubara Nasional: Tantangan Fiskal dan Transisi Energi di Jakarta, Kamis (4/10).

Direktur Ekspor Produk Industri Dan Pertambangan Kementerian Perdagangan Merry Maryati tidak membantah perbedaan data itu. Namun, menurutnya, selama ini Kementerian Perdagangan tidak punya akses luas untuk mendapatkan data ekspor, terutama data dari tiga lembaga yakni BPS, Bank Indonesia, dan Bea Cukai. Alhasil data yang ada di Kementerian Perdagangan kerap berbeda dengan Kementerian lain. “Sekarang lagi dicoba ada Memorandum of Understandingsupaya bisa dapat data-data tersebut,” ujar dia.

Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Keuangan Mariatul Aini mengatakan  sedang membangun sinergi integrasi data yang melibatkan kementerian terkait seperti Kementerian ESDM. Tujuannya untuk memantau dan mengawasi data produksi hingga ekspor batu bara.

Integrasi data itu dapat memudahkan Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM dan Kementerian terkait lainnya untuk tahu perusahaan mana yang kurang melaporkan transaksi  mengenai ekspor batu bara.”Sebisa mungkin yang belum optimal harus ditarik dengan pengawasan tadi,” kata dia.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batu Bara Kementerian ESDM Sri Raharjo mengatakan data temuan ICW terkait penyimpangan ekspor batu bara itu akan menjadi input untuk Kementerian ESDM. Ada beberapa upaya yang akan dilakukan ESDM agar data batu bara ke depan semakin transparan, salah satunya dengan memakai pengawasan data secara daring (online).

Direktur ESDM dan Pertambangan Nasional Bappenas Josaphat Rizal Primana menilai temuan-temuan penyimpangan seperti ekspor batu bara tersebut masih minim ditanggapi oleh Kementerian terkait. “Ini tergantung dari political will dari kementerian terkait. Kami sudah sampaikan temuan temuan ICW pertengahan tahun ini ke ESDM tapi belum ada lanjutan,” ujar dia.

 

Sumber: Katadata