Partisipasi masyarakat diperlukan dalam melakukan pengawasan pertambangan. Hal ini penting, khususnya bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), salah satu provinsi penghasil tambang, khususnya tembaga, terbesar di Indonesia. Setidaknya terdapat 271 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Provinsi NTB per tahun 2019, menurut data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi NTB.
Banyaknya jumlah IUP di provinsi ini, di satu sisi mendatangkan penerimaan daerah dari land rent, royalti, dan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan. Juga 1.140 tenaga kerja yang sudah terserap oleh perusahaan mineral non-logam (BPS Provinsi NTB, 2014). Sektor tambang diperkirakan telah berkontribusi sebanyak 20% terhadap ekonomi provinsi. Di sisi lain, tambang juga memicu terjadinya kerusakan lingkungan, serta berdampak langsung terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di lingkar tambang.
Rizky Ananda, Program Manager dan Peneliti PWYP Indonesia, dalam Pelatihan “Memahami Tata Kelola Pertambangan dan Ruang Partisipasi untuk Pengawasan bagi Komunitas” 20-21 Maret lalu menyampaikan bahwa masyarakat perlu mengetahui apa saja kewajiban perusahaan tambang sehingga bisa bersama-sama memantau apakah perusahaan tambang di daerahnya sudah melakukan praktik pertambangan yang baik (good mining practices) atau belum.
“Perusahaan tambang mempunyai kewajiban keuangan, yaitu kewajiban membayar landrent dan royalti serta pajak dari operasi tambang yang dilakukan. Kewajiban keuangan ini dibayarkan oleh perusahaan ke pemerintah pusat, untuk kemudian dikembalikan ke daerah penghasil melalui mekanisme Dana Bagi Hasil. Kewajiban lainnya yaitu melakukan reklamasi dan pasca tambang, juga dalam penempatan dana jaminan reklamasi dan pascatambang,” papar Rizky.
“Keterlibatan masyarakat ada dalam proses penyusunan rencana reklamasi dan pascatambang, sebagaimana diatur dalam Kepmen ESDM no 1827 K/20/MEM/2018. Pemegang IUP harus berkonsultasi dengan masyarakat, karena masyarakat adalah pihak yang terkena dampak langsung akibat kegiatan usaha pertambangan,” ujar Rizky.
Akses Informasi sebagai Prakondisi Pengawasan Masyarakat yang Berarti
Salah satu prasyarat yang harus terpenuhi untuk partisipasi masyarakat dalam pengawasan adalah akses terhadap informasi dan informasi yang berkualitas. Dwi Arie Santo, Koordinator SOMASI NTB yang juga menjadi narasumber dalam pelatihan ini menyampaikan bahwa masyarakat bisa mengakses informasi publik melalui mekanisme permohonan informasi publik. “Ini sudah menjadi hak masyarakat, yang dijamin dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) beserta aturan turunannya,” jelas Aries.
Menurut Aries, ada tiga aktor penting dalam mewujudkan keterbukaan informasi. Pertama, badan publik baik lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang dibiayai negara sebagai pemilik atau pengelola informasi. Kedua, pengguna/pencari informasi, yaitu warga negara atau badan hukum Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana diatur dalam UU KIP. Ketiga, Komisi Informasi (KI) sebagai mediator dan hakim dalam sengketa informasi. Komisi Informasi berfungsi sebagai lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU KIP dan aturan turunannya.
Aries memaparkan, dari praktik uji akses informasi yang pernah dilakukan oleh SOMASI NTB, beberapa masalah yang ditemukan di antaranya yaitu para pencari informasi masih kesulitan mengakses informasi secara bebas, karena institusi pemberi informasi bersikap diskriminatif, yaitu melihat siapa yang meminta informasi. Kemudian informasi yang diberikan tidak berkualitas, dan birokrasi yang cenderung memakan waktu. Serta pengenaan biaya kepada pencari informasi.
Dokumen Izin Pertambangan sebagai Informasi Terbuka
UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 11 Ayat 2 menyebutkan bahwa Badan Publik wajib menyediakan informasi publik setiap saat yang meliputi: Daftar Informasi Publik, Keputusan dan pertimbangannya, Kebijakan dan Dokumen Pendukung, dan Perjanjian dengan Pihak Ketiga.
Menurut Rizky, adapun dokumen perizinan pertambangan yang bisa diakses oleh publik yaitu: Pertama, Surat Keputusan (SK) Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh gubernur atau menteri-sesuai dengan kewenangannya. Dokumen SK IUP ini mencakup informasi siapa pemilik izin, lokasi izin, luasan wilayah, informasi kepemilikan perusahaan, koordinat wilayah, serta hak dan kewajiban pemilik izin.
Kedua, Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi syarat perizinan. Setiap usaha dan atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, diwajibkan mempunyai AMDAL.
Ketiga, Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Dokumen ini diwajibkan bagi rencana usaha / kegiatan yang tidak diwajibkan mempunyai AMDAL.
Keempat, Dokumen Rencana Reklamasi. Rencana reklamasi merupakan dokumen yang diajukan bersamaan dengan pengajuan IUP/IUPK Operasi Produksi kepada Menteri melalui Dirjen/Gubernur-sesuai dengan kewenangannya, di mana rencana reklamasi disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang sudah disetujui. Rencana reklamasi disusun untuk jangka waktu 5 tahun, dengan rincian tahunan, yang memperhatikan prinsip reklamasi, sistem dan metode penambangan, kondisi spesifik wilayah, dan ketentuan perundang-undangan.
Kelima, Dokumen Pertimbangan Teknis. Dokumen ini diterbitkan oleh Kementerian ESDM and Dinas ESDM atas keputusannya menerbitkan IUP/IUPK.
Jurnalisme Warga sebagai Media Alternatif Menyuarakan Aspirasi Masyarakat
Asri Nuraeni, Communication Officer PWYP Indonesia yang juga menjadi narasumber dalam pelatihan ini, menyampaikan bahwa jurnalisme warga (citizen journalism) bisa menjadi media alternatif untuk menyuarakan aspirasi masyarakat yang tidak terakomodir di media arus utama. “Konten media arus utama saat ini cenderung ‘Jakarta centrist’, dan isu-isu penting di daerah sering kali tidak diangkat di media nasional,” ujar Asri.
Seiring tumbuhnya penggunaan internet di Indonesia, masyarakat bisa dengan mudah untuk mengumpulkan, melaporkan, menganalisis, dan memproduksi berita dan informasi. Warga bisa membuat media sendiri sesuai dengan kebutuhan komunitas setempat.
“Jika ada aktivitas pertambangan yang beroperasi dekat dengan pemukiman warga, warga bisa memantau aktivitas pertambangan tersebut dengan menggunakan media komunitas serta praktik jurnalisme warga untuk menyampaikan informasi faktual kepada masyarakat di wilayah tersebut dan khalayak luas,” tambah Asri.